Saya
sebut saja namanya Haji Fulan. Sudah berkali-kali ia berkilah dan berkelit
untuk tidak menghadiri hajatan pernikahan di lingkungan kampungnya. Padahal,
undangan terus saja berdatangan ke rumahnya. Maklumlah, Haji Fulan, tokoh
masyarakat, orang terpandang di kampung itu. Semula ia enggan mengemukakan
alasan kenapa ia keberatan menghadiri undangan dari sejawat-sejawatnya itu.
Namun, karena terus-menerus ditanyai, akhirnya Haji Fulan buka mulut juga. Dan,
ternyata pasalnya sepele. Hampir di setiap surat undangan yang diterima Haji
Fulan, para “sohibul-hajat” tidak mencantumkan huruf “H” sebelum namanya. Jadi, yang
tertera hanya “Fulan,” bukan “H. Fulan.” Ia merasa kurang dihargai—bila tidak
bisa disebut dirugikan—sebagai orang yang telah bersusah-payah mengumpulkan
biaya guna menjejakkan kaki di tanah suci. “Kopiah putih di atas kepalaku ini
sangat mahal harganya,” begitu Haji Fulan menggerutu pada Maemunah, istrinya.
Kisah kecil ini rasanya kerap muncul
dalam keseharian kita. Haji Fulan hanyalah satu dari sekian banyak oknum haji yang
pernah mengalami ketersinggungan serupa. Ritual haji tak ubahnya upacara
pembaiatan derajat keberagamaan sebuah keluarga, sebuah silsilah, sebuah klan. Status
kehajian nyaris bergeser dari kepasrahan akan ridha Tuhan menjadi sayembara
meraih harkat keberibadahan yang pantas disanjung, dipuja-puji. Beribadah hanya
karena ibadah itu adalah semacam warisan turun-temurun. Menyembah bukan
semata-mata karena mesti menyembah. Menyembah karena akan meraih berkah-Nya.
Berserah diri karena diam-diam begitu berhasrat hendak “menjarah” rejeki-Nya.
Problematika derajat kehajian
semacam inilah yang menjadi perbincangan utama novel Ular Keempat (2006) karya Gus Tf Sakai. Semula novel itu tampak hendak membincang
fakta sejarah perihal kisruh penyelenggaraan perjalanan haji (1970) yang
dianggap melanggar prosedur, sekaligus memberi gambaran samar tentang sejarah
mula-mula penyelenggaraan ibadah haji di bawah kendali (monopoli?) sebuah
departemen di republik ini. Tapi, ternyata latar cerita itu hanyalah medium
bagi eksplorasi makna kehajian lebih dalam. Maka, hadirlah karakter bernama Janir, tokoh
paling penting dalam buku itu. Seorang pengusaha rumah makan asal Padang yang
sukses di perantauan. Juragan yang membawahi banyak anak semang. Sosok kehajian
Janir tiba-tiba berubah menjadi problematis, sebab tak tegak pada landasan iman
yang matang, tidak berdiri di atas keikhlasan yang tanak dan teruji. Meski telah
menunaikan rukun Islam kelima itu untuk kali yang kedua, predikat kehajian
Janir tetap menyisakan banyak tanya. Kegelisahan teologis yang melandanya
seumpama belitan ular yang sewaktu-waktu bakal “mencotok” atau menancapkan bisa
di tubuhnya.
Dalam situasi kejiwaan yang rapuh
itu, Janir beroleh semacam “ilham” dari guru Muqri yang dijumpainya di tanah
suci. Tak jelas siapa sesungguhnya orang itu, boleh jadi ia benar-benar nyata
atau halusinasi Janir belaka. Diceritakan, guru Muqri pernah berjanji pada
kehajian Janir yang pertama, bila ia masih terpanggil berhaji pada kali kedua,
guru Muqri akan memberinya tiga cerita, tiga kisah, tiga riwayat. Maka, janji itu pun
ditepati. Kisah pertama bertutur tentang perburuan para hamba mengejar syafa’at malam kemuliaan, malam yang
lebih baik dari seribu bulan, alias lailatul
qadar. Berhari-hari, berminggu-minggu mereka berpacu. Berburu. Serupa
kesetanan, seperti kesurupan. Tak pernah mereka singgah. Ada halte ada stasiun,
tetapi mereka terus. Ada kehidupan dan kematian, tetapi mereka ngebut di
kesendirian. Berlomba. Saling mendahului. Beribadah demi sorga mereka sendiri.
Inilah dia Ular Pertama; egoisme.
Gigitannya tak merusak raga, tak pula menyakitkan, tapi kebuasannya dapat
mencabik-cabik jiwa, melunturkan keikhlasan. Setan yang nyata. Mungkinkah iman
tumbuh di atas watak egoistik yang meluap-luap?
Saat wukuf di Arafah, Janir beroleh
“wahyu” selanjutnya. Dua kisah lagi sesuai janji guru Muqri. Kisah ini
menyindir laku peribadatan orang-orang kampung Janir, yang tak lebih karena
keturunan mereka melakukannya. Itupun hanya untuk menggapai kehajian yang bakal
dibanggakan, dipamerkan di setiap kesempatan. Pembeda antara yang sudah bersorban, berkopiah putih dengan yang
masih berpeci hitam tanpa sorban, sebagaimana kisah Haji Fulan di atas. Janir teringat masa kecil di kampung dulu.
Ada debar pengajian, getar tadarrus, beningnya suara azan buya Daruwih.
Seolah-olah kenangan itu yang mendorongnya berhaji. Ya Allah, betulkah kenyataan ini: aku berhaji karena kenangan? Dalam
kenangan itu terselip kebanggaan? Inilah Ular Kedua: kebanggaan, riya,
sum’ah, takabbur.Gigitannya tak menghancurkan daging, tapi membinasakan
keberpasrahan. Setan besar. Lebih besar ukurannya dari Jumratul Aqabah, Wustha,
dan Ula.
Kisah terakhir yang diperoleh Janir
berisi semacam prediksi futuristik tentang silang-sengketa, pertikaian antarkelompok
dalam memperebutkan kekuasaan. Ini terasa mencengangkan. Guru Muqri terlihat
amat paham khazanah Tambo. Seakan-akan
riwayat itu bukan berasal dari guru Muqri, tapi dari perenungan batin Janir sendiri. Dalam
salah satu versi Kaba (sastra lisan
Minangkabau) ditemukan cerita mengenai seluk-beluk permainan layang-layang.
Anehnya, cerita layang-layang itu tak termaktub pada bab tentang permainan
rakyat, tapi ditempatkan pada bab kepemimpinan. Apa hubungan layang-layang
dengan masalah kepemimpinan? Negara diamsalkan serupa layang-layang putus-tali di ketinggian tertentu,
lalu orang-orang berhamburan mengejarnya dengan kayu galah di genggaman
masing-masing. Sebelum layang-layang itu jatuh menyentuh tanah, kayu-kayu galah
lantas menghadang. Menusuk, merenggut, seolah-olah setiap orang berhak atas
layang-layang itu. Mereka tak beroleh apa-apa selain bangkai layang-layang.
Patah-patah, remuk, hancur, cerai-berai. Begitulah negara. Semua orang merasa
berhak memilikinya. Bila satu kelompok gagal, kelompok lain juga tak boleh
memiliki. Inilah Ular Ketiga: rakus,
tamak, lalim.
Maka, bila para hamba Tuhan yang
lain meraih kemabruran dari tanah suci, Janir justru beroleh cenderamata; tiga
ekor ular dari guru Muqri. Sesampai di tanah air, ia beroleh seekor ular lagi. Gus
Tf Sakai menyebutnya Ular Keempat.
Janir pun memasang niat akan berhaji lagi tahun depan, menjejakkan kaki di
tanah suci lagi. Ia tak peduli anak-anak semang, tetangga-tetangga melarat,
para fakir miskin dan dhuafa. Janir benar-benar sudah “ketagihan” digigit ular, dan hendak menjemput gigitan Ular Kelima, Keenam, Ketujuh…
@damhurimuhammad
kolom ringan tapi berat isinya ,dulu ada haji sumanik,haji miskin dan haji piobang yang 'ditakuti' setelah pulang haji..kenapa alumni baitullah skrg sepertinya biasa2 saja..? seperti juga gelar2 kesarjanaan yg juga biasa2 saja..menarik utk direnungkan..
ReplyDeletekolom ringan tapi berat isinya ,dulu ada haji sumanik,haji miskin dan haji piobang yang 'ditakuti' setelah pulang haji..kenapa alumni baitullah skrg sepertinya biasa2 saja..? seperti juga gelar2 kesarjanaan yg juga biasa2 saja..menarik utk direnungkan..
ReplyDeleteAha, terimakasih sudah berkunjung, Pak Dokter
DeleteAha, terimakasih sudah berkunjung, Pak Dokter
DeleteBerbobot
ReplyDeleteBerbobot
ReplyDelete