Damhuri Muhammad
Secara
terminologis, Isra’ berarti
perjalanan Muhammad—pada malam hari—dari Mekah ke Masjid Al-Aqsha’ (tempat suci
terjauh) di Palestina. Sedangkan Mi’raj—secara
harfiah berarti "tangga"—dimaknai sebagai naiknya Muhammad ke sidrat al-muntaha (sidrah terakhir). Referensi
teologis peristiwa itu adalah surah al-Isra’ (17): “Maha suci Allah yang
memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjid al-Haram ke Masjid
al-Aqsha…”
Mulai dari titik inilah
berkembangnya berbagai riwayat mengenai pengalaman spritual Muhammad selama
menempuh perjalanan itu. Seperti disinyalir Annemarie Schimmel (1985) dalam And Muhammad is His Messenger, peristiwa
Isra’ Mi’raj telah mengilhami lahirnya
sekian banyak literatur yang bahkan lebih komprehensif dari kisah-kisah keajaiban
yang menyertai kelahiran Muhammad. Baik dari perspektif teologis maupun
sufistik, kenaikannya ke langit (mi’raj) jauh lebih penting dari momentum
maulud.
Diskursus paling menarik dalam
konteks Isra’ Mi’raj yang diperingati setiap 27 Rajab adalah; apakah
peristiwa itu merupakan fenomena badani atau ruhani? Para penganut mazhab
Mu’tazilah menganggapnya sebagai penglihatan hati dan sangat mungkin suatu
perjalanan batini. Argumentasinya adalah hadist yang diriwayatkan Aisyah (istri
nabi), bahwa pada saat peristiwa itu berlangsung “jasmani Muhammad tidak
hilang”. Kaum ortodoks, seperti At-Thabari (awal abad ke-10) menyangkal pendapat
ini. Perjalanan itu benar-benar terjadi secara jasmani. Mereka berpijak pada tafsir ayat:
“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari”, (bukan
“jiwa hamba-Nya”). At-Thabari juga mempertanyakan, kenapa Nabi memerlukan tunggangan
Buraq untuk perjalanan yang semata-mata penglihatan hati dan spritual?
Model penafsiran terhadap peristiwa
Isra’ Mi’raj sebagai perjalanan batini
pada perkembangan selanjutnya menumbuhsuburkan lahirnya literatur-literatur
sufi. Farid ad-Din ‘Aththar dalam Manthiq
al-Thayr menceritakan perjalanan spritual yang panjang dan melelahkan, di
mana burung-burung—simbol pencari Tuhan—harus melewati tujuh lembah yang amat memutus-asakan.
Hanya burung-burung yang penuh kepercayaan yang dapat sampai di tujuan: menemui
raja burung, Simurg. Sementara,
Al-Hujwiri menulis buku Kasyf al-Mahjub
(Menyingkap Tirai), menguraikan tafsir sufistik dari berbagai macam ibadah ritual.
Misalnya ibadah Haji, menurutnya adalah perjalanan ke dalam lubuk hati yang
terdalam dari dunia inderawi. Pemaknaan Isra’ Mi’raj dalam arti sufistik didasarkan
pada sebuah hadist yang menjelaskan bahwa shalat merupakan Mi’raj-nya kaum
muslimin. Maka, Mi’raj tidak diartikan sebagai perjalanan ke luar angkasa, tapi
ke dalam ceruk hati paling dalam, di mana Muhammad menemukan dirinya berada
dalam "kehadiran Tuhan".
Isra’ Mi’raj bukan hanya telah
mengilhami pujangga terkenal Italia, Dante dalam The Divine Comedy, tapi juga modernis Iqbal dalam bukunya Javidnameh. Dengan bimbingan Rumi—dalam
pengisahannya berperan sebagai Jibril, atau Virgil dalam versi Dante—ia mendeskripsikan
perjalanan spritual ke tempat yang mulia di mana Muhammad berjumpa dengan arwah
para pemikir besar dunia. Perjalanan ini melintasi berbagai langit dan
berakhirnya di hadirat Tuhan yang “terus tumbuh tanpa habis-habisnya”. Begitu
juga dengan Fazlur Rahman, seperti dikutip Mulyadi Kartanegara (2000). Sama halnya
dengan Iqbal, Rahman tidak sepakat dengan tafsir konvensional terhadap
peristiwa Isra’ Mi’raj. Berbagai keberatan dikemukakannya antara lain berkenaan
dengan nama Masjid al-Aqsha. Menurutnya, kata itu tidak bisa mengacu pada
Masjid Al-Aqsha yang ada di Palestina, sebab nama itu baru diberikan
setelah masa khalifah Umar.
Iqbal berkesimpulan, Mi’raj tidak
bersifat ekstensif, melainkan intensif. Pada masa sebelumnya, Ibn ‘Arabi juga menegaskan, Mi’raj dalam pengertian
meruang (spatial) tidak akan pernah
terjadi, karena Tuhan ada—selalu hadir—di mana saja. Sementara Rumi menafsirkan
Jibril sebagai simbol intelek yang dapat membimbing manusia ke gerbang kekasih
(Tuhan), tapi tidak pernah diizinkan memasuki penyatuan cinta. Intelek harus
berhenti di pintu cinta, sebab seperti Jibril, ia takut pada cahaya Tuhan yang
bisa melahap apa saja, membakar sayap-sayapnya.
Model-model interpretasi mulai dari
Ibn ‘Arabi, Rumi, Iqbal hingga Fazlur Rahman memang menjanjikan kepuasan spritual, namun masih sulit merumuskan
landasan epistemologi Mi’raj yang dapat berdialog dengan rasio modernitas.
Setidaknya, sukar menghilangkan aura mistis dalam kerangka analisisnya. Karena
itu, cukup relevan untuk mewacanakan pendekatan baru dalam memaknai Isra’ Mi’raj.
Pendekatan ini menggunakan perspektif Filsafat Profetik. Ibrahim Madkour (1988)
dalam Fil al-Falsafah al-Islamiyah,
Manhaj wa Tatbiquhu menjelaskan, filsuf yang pertamakali menggagas teori
ini adalah Abu Nashr Muhammad ibnu
Tharkhan ibnu Auzalagh Al-Farabi (850-950). Setelah melalui refleksi filosofis
selama bertahun-tahun, Al-Farabi menyimpulkan bahwa status ‘nabi’ bukan kualitas
yang hanya diperoleh dari pembawaan (fitri),
bukan muncul secara alamiah, melainkan suatu tingkat pencapaian yang muktasabah (dicari, digali, diraih
dengan kemampuan kognitif).
Al-Farabi, melalui Magnum Opus-nya Ara’ ahl al-Madinah al-Fadilah (Beirut:
Dar al-Fikr, 1959) menegaskan, iluminasi nubuwwat
didahului oleh tahap-tahap pemikiran filosofis. Ia merumuskan sebuah
sistematika tentang fase-fase perkembangan kecerdasan kognitif manusia yang
berpuncak pada persenyawaan antara ‘layar kesadaran’ makhluq (manusia) dengan ilham ilahiah yang memancar dari ‘layar
kesadaran’ khaliq (Tuhan). Tahap-tahap
perkembangan kecerdasan intelek itu adalah: the
potential intellect (intelek potensial/aql
munfa’il bi al-quwwah), the actual
intellect (intelek aktual/aql
munfa’il bi al-fi’li), the acquired
intellect (intelek perolehan/aql
mustafad) dan akhirnya sampai pada the
active intellect (intelek aktif/aql fa’al). (Rahman, 1957)
Titik kulminasi kecerdasan intelek
berakhir pada pencapaian kualitas intelek aktif yang berperan sebagai penghubung
antara ‘layar kesadaran makhluq’ dengan pesan-pesan kenabian yang terpancar
dari lauh mahfudz. Tingkat kecerdasan
intelek level ini akan menyingkap seluruh tabir kegaiban pengetahuan sehingga
pengetahuan yang diraih tidak lagi terbatas ruang-waktu. Dalam konteks Mi’raj,
seperti diceritakan Husein Haykal dalam Sejarah
Nabi Muhammad, maka terbukalah rahasia langit dan bumi. Terlihat juga
betapa dahsyatnya hukuman bagi para durjana dan agungnya ganjaran bagi
orang-orang saleh.
Implikasi logis dari Filsafat
Profetik adalah terbukanya kemungkinan bagi
para filsuf untuk mengalami "kesadaran kenabian". Tapi, yang dimaksud
dengan "kenabian" di sini bukanlah kenabian formal-teologis, tapi kenabian filosofis-kualitatif.
Maka, peristiwa Mi’raj pada hakikatnya tidak pernah berhenti sama sekali.
Artinya, terbuka kemungkinan bagi setiap manusia yang mampu menggali, mengolah
dan mengembangkan potensi inteleknya untuk mengalami Mi’raj. Ini sesuai dengan
hadist; “Shalat adalah mi’raj-nya kaum muslimin”.
Kualitas kemampuan intelek paling
puncak yang disebut ‘intelek aktif’ itu, tidak lagi bisa dipahami sekadar
kemampuan kognitif (semata-mata akal), tapi sudah menjadi "kesadaran
transendental" (the transcendental consciousness).
Di sini, terlihat adanya titik temu antara "kecerdasan profetik" dengan "kecerdasan
sufistik" yang keduanya bermuara pada kebersenyawaan intelek Muhammad dengan realitas Ilahi dalam peristiwa Mi’raj.
Sebuah
analogi yang memperkuat pemahaman tentang "kemanunggalan" intelek manusia
dengan realitas ilahiah pada peristiwa Mi’raj, adalah peristiwa al- lailat al-qadr. Seperti dijelaskan
Qur’an, al- lailat al-qadr adalah
suatu malam yang terang benderang karena disirami semburat cahaya dari 1000 Bulan. Sinar yang memancar dari
sebuah (1) bulan saja, kualitas terangnya sudah luar biasa, apalagi cahaya yang
memancar dari 1000 (buah) bulan. Hingga kini, belum ada perangkat teknologi
modern yang mampu mengukur seberapa cepat cahaya itu merambat.
Istilah "1000 Bulan" juga kerap
dihubungkan dengan perhitungan atau bilangan waktu. Jika 1000 Bulan dibulatkan
ke dalam satuan tahun, maka durasi waktu selama al- lailat al-qadr berlangsung adalah 82 tahun. Artinya,
persekutuan antara "layar kesadaran manusia" dengan "layar kesadaran Tuhan" pada
peristiwa itu, lebih berkualitas dari ibadah ritual yang dilakukan selama 82
tahun—usia orang-orang sekarang jarang yang sampai setua itu. Maka, istilah "lebih baik dari 1000 bulan" adalah
analogi waktu yang tak terjangkau akal. Mungkinkah durasi waktu satu malam yang
dalam logika akal hanya 24 jam itu, lalu berubah menjadi 82 tahun? Bila pemahaman
ini diteruskan ke tingkat analisis matematis yang lebih serius, akan cacatlah
kebenaran rumus-rumus fisika, teori-teori astronomi modern, dan runtuhlah
ketetapan-ketetapan satuan serta bilangan waktu. Demikian pula Isra’ Mi’raj. Petualangan
metafisik itu tidak serta merta dapat diklaim irasional. Barangkali, kemampuan
akal yang terbatas, hingga tak mampu mengarungi jagad ketakterbatasannya…
Damhuri Muhammad
Pengajar filsafat di Universitas Darma Persada, Jakarta
No comments:
Post a Comment