Thursday, September 15, 2016

Korupsi yang Banal


 
Damhuri Muhammad





Dalam keriuhan suara dan hiruk-pikuk kemarahan akibat praktik korupsi yang merajarela di republik ini, saya kerap mengalami kebimbangan. Mudah menunjuk batang hidung, atau memaki-maki pelakunya di laman-laman media jejaring sosial, katakanlah pejabat negara mulai dari level bupati, gubernur, mentri, elit partai, hingga aparat penegak keadilan. Barangkali karena mereka adalah individu-individu di luar kehidupan saya. Akan berbeda kenyataannya bila watak korup itu tumbuh dalam lingkaran keluarga saya. Sebut saja, ayah, ibu, paman, kakak-ipar, atau kerabat-kerabat dekat lainnya.
            Di lingkungan keluarga, saya sering menegaskan, tak perlu jauh-jauh menyalahkan koruptor kelas kakap. Tengoklah saudara terdekat; pegawai biasa di sebuah kantor pemerintah di Jakarta. Hanya kepala sub-bagian (Kasubag), tapi bergonta-ganti mobil mewah saban tahun. Rumahnya ada di empat penjuru ibukota, hidupnya bergelimang kemewahan. Punya hotel megah dengan lahan puluhan hektar di kampung halaman. Saya berupaya menunjukkan bukti-bukti akurat bahwa kekayaan kerabat saya yang melimpah-ruah itu adalah hasil korupsi. Tapi upaya saya sia-sia. Alih-alih dipercayai, saya malah dicibirkan, dianggap dengki, dan akhirnya dibujuk untuk tidak banyak bersuara.  






          Inilah yang saya maksud dengan kebimbangan. Keluarga, tempat saya dibesarkan dengan segenap keluhuran budi, membiarkan kerabat yang sudah pasti ikut menghisap uang negara. Bagaimana saya akan berteriak melawan korupsi? Salah satu malingnya berasal dari rumah saya, dan keluarga besar saya memaklumi, atau mungkin sudah memaafkannya?
Aksi diam itu penyebabnya sederhana; jasa. Ya, koruptor itu sudah banyak berjasa. Membiayai pendidikan anak-anak dari sanak-keluarga yang melarat, membangun musholla, hingga mengaspal jalan kampung yang rusak-parah. Sejak itu, saya mempercayai bahwa kemiskinan karib kerabat saya dan ketidakmujuran nasib orang-orang kampung saya, ternyata telah memfasilitasi kebejatan bernama; korupsi.
Imbalan, atau yang lazim disebut “gratifikasi” itu sebenarnya hanya remah-remah atau recehan bila dibandingkan dengan kejahatan seorang koruptor. Tapi banyak orang begitu cepat memaafkannya, bahkan mendoakan keselamatannya. Solidaritas dalam sistem komunal kita gampang melakukan pembelaan, atau melindungi maling, bila perlu. Bukankah sebuah institusi partai politik lebih kerap mengklaim korupsi di partai lain ketimbang mengaku bahwa korupsi juga sedang menjangkiti tubuh partainya sendiri? Semut di seberang lautan tampak begitu gemuk, sementara gajah di pelupuk mata bagai hendak dilupakan. Maka, benarlah kiranya teori para sosiolog, bahwa budaya kolektif memberikan prioritas pada kebutuhan dan tujuan kelompok, mementingkan keharmonisan. Setiap orang berusaha mendukung kebutuhan kelompok, meski berakibat merugikan dirinya.  Riset terkini tentang korupsi di sejumlah negara, sebagaimana dicatat Sahat K Panggabean (2012) dari Predicting Societal Corruption Across Time: values, wealth, or institutions? (O’Connor S. &  Fischer R, 2011), menyimpulkan bahwa indeks korupsi cenderung lebih tinggi pada masyarakat yang menganut relasi komunal ketimbang individual. Kolektivisme mendukung praktik suap karena rendahnya anggapan bahwa ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.  
Betapapun tercelanya koruptor, ia akan terselamatkan. Apalagi  yang rajin menaburkan budi-baik dan kepedulian sosial semu. Korupsi memang terus bakal dikutuk, tapi tanpa sungkan kita senantiasa melakukannya. Seperti kebiasaan membeli rokok yang pada kemasannya tertera peringatan; merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan. Sebagaimana perangai mengencingi papan pengumuman; dilarang kencing di sini. Terlarang, tapi kita tidak mau berhenti melakukannya, setidaknya berperan memfasilitasinya. Itu sebabnya korupsi di negeri ini seperti kebiasaan berkumur-kumur saban pagi. Menyehari, banal, dan massal.
Di level yang lebih praksis, suatu kali saya diundang sebagai narasumber guna membincang korupsi dari perspektif kebudayaan. Semua teori telah berhamburan, rupa-rupa dalil dalam filsafat kebudayaantelah diketengahkan, sekian jurus ampuh membasmi korupsi saya rekomendasikan. Saya amat antusias menelaah persoalan krusial yang tiada kunjung terselesaikan itu, hingga mulut saya berbusa-busa. Usai diskusi dan perdebatan panas, saya mesti mengisi daftar hadir, sebagai syarat administratif laporan keuangan bagi panitia penyelenggara. Kenapa saya harus menandatangani absensi untuk tiga hari kehadiran sementara acara sudah tuntas hari ini? Panitia hanya mengumbar senyum genit. Dari lirikan matanya saya membaca permintaan agar saya maklum. Lalu tiba giliran menerima honor dan inilah bagian yang menegangkan. Saya diminta menandatangani kwitansi kosong. Kenapa tidak dituliskan saja nominal uang yang saya terima di kwitansi itu? Lagi-lagi si petugas genit menatap saya. Bahasa matanya meminta saya mengikuti permainan ringan itu. Tanda tangan kwitansi kosong, terima honor, tuntas perkara. Pada hari celaka itu, saya telah mengkhianati pikiran yang baru saya rumuskan, saya menghina akal-sehat yang saya gunakan untuk memikirkan cara jitu membasmi korupsi. Alih-alih melawan korupsi, saya malah bersekutu melakukan korupsi. Dalam peristiwa itu, jarak antara akal-sehat dengan akal-bulus kami ternyata hanya setipis kulit bawang.
Tapi, lama-lama saya terbiasa. Saya telah berada dalam lingkaran pemakluman demi pemakluman. Berteriak mengatakan tidak pada korupsi, tapi pada saat yang sama merelakan tubuh dan harga diri saya sebagai jembatan menuju korupsi. Kerabat yang dulu saya tuding koruptor itu pensiun dini sejak warna politik di lingkungan kerjanya berubah. Ia berganti-kulit menjadi politisi dan pada Pileg 2014 lalu, mendeklarasikan diri sebagai calon anggota DPR-RI. Menghambur-hamburkan uang demi mendulang suara. Keluarga besar saya semakin memujanya. Orang-orang kampung saya mendoakan keterpilihannya. Saya menatap sorot matanya yang terpajang di sepanjang jalan provinsi. Menimbang-nimbang watak kemaruknya, sambil mengukur kemunafikan saya. 

@damhurimuhammad


Tuesday, August 30, 2016

Abdul Mustajab & Guru Matematika









ilustrasi: Barma





Abdul Mustajab siswa yang cerdas. Utamanya dalam mata pelajaran Matematika. Di kelasnya, anak itu disebut-sebut siswa yang paling cepat menyelesaikan soal-soal aljabar, aritmatika dan geometri. Itu sebabnya, Abdul Mustajab menjadi murid kesayangan Pak Saidan, guru Matematika yang terkenal sangar itu. Satu-satunya murid yang belum pernah diomelinya hanya Abdul Mustajab.

            Suatu hari Pak Saidan jatuh sakit, sehingga beberapa kali pertemuan jam mata pelajaran Matematika terpaksa digantikan oleh Bu Sherly. Seperti lazimnya, bilamana guru sakit, dan tak sembuh dalam waktu dua minggu, tibalah saatnya murid-murid harus membesuk ke rumah yang bersangkutan. Pada saat teman-teman kelas Abdul Mustajab membesuk Pak Saidan, si murid kesayangan itu malah absen. Ia beralasan, hari itu ia harus membantu orangtuanya yang berjualan goreng pisang di emperan pasar Inpres.
            “Mustajab mana? Kok tidak datang?” tanya Pak Saidan pada murid-muridnya.
            “Maaf, Pak! Mustadir berhalangan,” jawab Selvi, agak gugup.
            “Wah, keterlaluan sekali anak itu!”
            “Saya sudah sering sakit, tapi belum pernah sekali pun ia datang menjenguk,” ketus Pak Saidan.
          Beberapa hari kemudian, kesehatan Pak Saidan mulai pulih. Guru Matematika itu mulai mengajar seperti biasanya. Mulai lagi memberi setumpuk soal-soal Matematika yang harus dikerjakan sebagai PR. Pada pertemuan itu perhatian Pak Saidan langsung mengarah pada Abdul Mustajab, murid kesayangannya. Sepertinya ada sesuatu yang hendak ditanyakannya.
            “Mustajab! Kenapa kamu tidak datang membesuk saya?” tanya Pak Saidan
          “Dari semua teman-temanmu di kelas ini, cuma kamu yang tidak ikut menjenguk saya”
            “Maaf, Pak! Waktu itu saya sedang repot.  Tapi saya janji, nanti saya akan menjenguk Bapak” jawab Abdul Mustajab, dengan santai.
            “Nanti? Nanti kapan hah?”
            “Nanti kalau Bapak sudah sakit sekali lagi…” balas Abdul Mustajab lagi.
            “Murid sialan...!” umpat Pak Saidan, dalam hati.   


@damhurimuhammad

Monday, August 29, 2016

OTAK










Kecelakaan beruntun terjadi di Jalan Raya Yogya-Solo, tepatnya di pertigaan Bogem, sekitar 400 meter sebelum pintu gerbang candi Prambanan. Sebuah armada travel agency warna putih terlihat dalam posisi terbalik. Kondisi mobil bonyok, dan remuk tak berbentuk, setelah dihantam truk bermuatan puluhan ton yang datang dari arah berlawanan. Empat wisatawan asing penumpang mobil na’as itu dipastikan tak ada yang selamat. Termasuk seorang pemandu wisata yang teridentifikasi bernama Abdul Mustajab. Semuanya tewas dalam keadaan mengenaskan. Jenazah korban bergeletakan di atas aspal beton sekitar lokasi kejadian. Akibat benturan keras, hampir semua kepala korban pecah, hingga otaknya berserakan di mana-mana.

            Petugas medis berupaya keras mengumpulkan potongan-potongan tubuh masing-masing korban dan menyatukannya di dalam kantong mayat. Jenazah Bartolome (Spanyol), Patrick (Jerman), Fuller (Australia) dan John (Amerika) telah berhasil diidentifikasi. Begitu pun dengan otak yang tadi berserakan, telah dikembalikan ke dalam kepala masing-masing jenazah. Tapi, mereka tidak berhasil menemukan otak Abdul Mustajab, pemandu wisata berkewarganegaraan Indonesia itu. Padahal, kepala korban itu jauh lebih hancur dibanding keempat korban lainnya.

            “Segera lakukan evakuasi!” begitu instruksi pimpinan polisi.

            “Tunggu, Pak! Masih ada bagian tubuh korban yang belum kami temukan!” sela salah seorang petugas medis.

            “Korban yang mana?”

            “Abdul Mustajab, pemandu wisata. Satu-satunya korban orang Indonesia”

            “Apanya yang belum ditemukan?”

            “Mestinya otak korban berserakan di sekitar lokasi tabrakan. Sebab, kepala bagian belakangnya hancur,” jelas petugas medis itu lagi.

            “Abaikan! Urus saja mayat-mayat ini, segera naikkan ke ambulan!”

            “Tapi, Pak….!

            “Ah, sudahlah! Mungkin orang Indonesia memang tak punya otak!”



@damhurimuhammad

Thursday, August 25, 2016

Abdul Mustajab Pulang Haji







ilustrasi: Barma


Abdul Mustajab baru pulang naik haji. Kini orang-orang tak bisa lagi sembarangan memanggil namanya. Ia sudah harus disebut dengan gelar penting sebelum namanya, yakni Haji. Lengkapnya; Haji Abdul Mustajab. Banyak yang kagum pada ketekunan Abdul Mustajab dalam beribadah. Untuk ukuran laki-laki lajang seperti Abdul Mustajab, kehajiannya adalah keistimewaan yang langka. Usaha toko kelontong yang dirintisnya berkembang pesat. Hidupnya mapan. Sudah haji, pula! Akan beruntunglah perempuan yang bakal jadi istrinya nanti. Sejak kepulangannya dari tanah suci, penampilan Abdul Mustajab tampak jauh berubah. Kopiah putih selalu melekat di kepalanya, tak ketinggalan baju gamis (semacam jubah yang biasa dipakai orang Arab) dan sorban bermotif kotak-kotak terselempang di lehernya.
        Suatu hari haji Abdul Mustajab mesti menghadiri undangan pernikahan di rumah sahabat dekatnya, Haji Sofyan. Sepeda motornya sedang masuk bengkel, karena itu Haji Abdul Mustajab terpaksa harus naik bis kota. Taksi? Ah, tak mungkin. Haji Abdul Mustajab terkenal sangat hemat (bila tidak bisa disebut pelit, alias medit). Lagi pula jarak dari rumahnya ke rumah Haji Sofyan yang sedang menggelar pesta perkawinan putrinya itu tidaklah terlalu jauh. Maka, pilihannya tentu saja bis kota.
Di dalam bis kota itulah kisah ringan ini berlangsung. Kebetulan saat itu bis kota penuh sesak. Berjubel. Hampir semua penumpang adalah siswi-siswi SMU yang baru usai jam sekolah. Haji Abdul Mustajab tak kebagian tempat duduk. Ia harus berdiri dalam kerumunan gadis-gadis  muda yang cantik dan wangi itu. Tubuh Haji Abdul Mustajab berdempetan dengan seorang siswi SMU yang berposisi membelakanginya. Sesungguhnya Haji Abdul Mustajab sudah berikhtiar mengambil jarak dengan menggeser posisi berdirinya sedikit ke belakang. Tapi, di belakangnya juga berdiri beberapa orang ABG berseragam, yang nyaris tak dapat bergerak karena saking berdesak-desakannya penumpang. Alhasil, Haji Abdul Mustajab pasrah, tetap berdiri dan bertahan di tempat semula. Makin lama, posisinya makin berdempetan dengan pinggul siswi SMU di depannya. Maklumlah, Haji Abdul Mustajab juga manusia dan masih muda, pula. Tentulah ada sedikit getaran dalam tubuhnya. Sulit sekali Haji Abdul Mustajab mengendalikan diri tatkala salah satu bagian tubuhnya bersentuhan langsung dengan pinggul sintal gadis muda itu. Pelan-pelan seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam baju gamisnya. Makin lama makin lincah dan giat saja gerakan itu. Akibatnya siswi SMU tadi spontan berteriak, sembari berbalik arah ke muka Haji Abdul Mustajab yang tampak makin gugup.
           “Waw!” kata gadis belia itu, sambil melotot pada Haji Abdul Mustajab.
          “Bukan waw, Dik. Tapi Alif...! balas Haji Abdul Mustajab, dengan bibir yang masih gemetar.



@damhurimuhammad        

Wednesday, August 24, 2016

Saya Akan Buang Rokok, Tapi Tolong Kancing Bajunya Dipasang!



 
ilustrasi: barma

Sekali lagi soal rokok. Daripada ikut-ikutan berdebat panas soal isu kenaikan harga rokok yang sudah bikin repot itu, saya lebih suka mengamati rupa-rupa perangai orang saat merokok. Misalnya, perokok yang masih kurang sadar lingkungan. Tanpa merasa bersalah mengepul-ngepulkan asap rokok di antara penumpang yang duduk berdesakan-desakan di atas angkutan kota (angkot). Nuar, mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta adalah salah satu penumpang angkot yang masih sering melakukan kebiasaan buruk itu. Suatu siang di atas mikrolet jurusan Kampung Rambutan-Depok, ia mungkin lagi apes. Saat menikmati hisapan demi hisapannya, tiba-tiba Nuar dikagetkan oleh teguran penumpang yang duduk berhadap-hadapan dengannya. Seorang Ibu muda yang sedang menggendong bayi.
            “Tolong matikan rokoknya, Mas!”   
            “Oh, maaf Bu!” jawab Nuar, sambil bergegas membuang puntung rokoknya.
            “Saya sih ndak apa-apa, tapi kasihan bayi saya ini!” ulang perempuan kembali.
Nuar agak jengkel, mungkin juga sedikit tersinggung. Sebab, selama ia naik angkot baru kali ini ia dapat teguran dan terpaksa mematikan rokoknya.
            “Enak aja lu! Gua mau ngerokok, mau apa, terserah gua dong!’ batin Nuar
          Tak lama kemudian, bayi dalam gendongan perempuan itu mengeyak. Mungkin kepanasan, mungkin juga kehausan. Bergegas perempuan itu membuka beberapa kancing baju, mengeluarkan sesuatu dari kutangnya, lalu segera menyusukan bayi itu. Saking tergesa-gesanya hendak menyusui bayinya, perempuan itu tidak sadar kedua buah dadanya menyembul keluar, akibat terlalu banyak kancing baju yang dilepas. Mestinya ia cukup membuka satu-dua kancing saja, dan mengeluarkan bagian yang betul-betul diperlukan bayinya saja. Mata nakal Nuar terus melototi tontonan gratis itu. Tapi, lama-lama Nuar mulai gelisah. 
            “Tolong kancing bajunya dipasang, Bu!” tegur Nuar,
            “Oh, maaf ya Mas!” balas ibu muda itu.
            “Saya sih ndak apa-apa, tapi kasihan keponakan saya ini!” ketus Nuar lagi sambil menunjuk ke arah selangkangannya. Di dalam celananya terlihat ada sesuatu yang menyembul dan sedikit menggeliat…

@damhurimuhammad

Tuesday, August 23, 2016

Tentara dan Buku








Bila Anda penggemar Rumah Makan Padang (RMP), sambil menunggu makan siang terhidang, sesekali cobalah arahkan pandang ke selingkar ruang di dalam rumah makan itu. Bila tidak di dinding sisi kiri atau kanan tempat duduk Anda, maka di dinding sisi belakang meja kasir, biasanya ada sebuah foto ukuran sedang dengan pigura berlapis kaca, yang tampak jelas sejak dari pintu masuk. Di kebanyakan RMP, foto yang dimaksud adalah potret seorang tentara berseragam lengkap, tentu sekaligus memaklumatkan simbol kepangkatan yang melekat di bahu, atau sekadar di bagian lengannya saja. 






Meskipun foto tentara yang terpasang hanya seorang sersan, tapi  biasanya ia bagian dari pasukan elit, atau sebut sajalah Kopassus (Komando Pasukan Khusus). Ekspresi yang dapat ditangkap dari foto itu sudah pasti sangar dan menakutkan. Atau boleh jadi yang tampak adalah foto seorang prajurit yang tak terlalu bikin merinding. Posturnya biasa, tatap matanya kurang tajam, ekspresinya datar, tapi  tiga melati yang melekat di bahunya, menunjukkan bahwa ia bukan tentara sembarangan, tapi seorang kolonel, sodara. “Jangan macem-macem kau!” kira-kira begitu gertakan yang hendak dilisankan oleh potret dalam pigura kaca itu. Pokoknya, sejak dari foto anggota Kopassus, Denjaga (pasukan elit angkatan laut), Pamen (perwira menengah), dan Pati (perwira tinggi) dari berbagai kesatuan, dengan gampang Anda lihat setiap kali makan siang di RMP, di kota mana pun Anda berada.

       Orang tak perlu banyak bertanya siapa sesungguhnya sosok-sosok yang fotonya dipamerkan saban hari itu? Ia, bisa jadi anak dari pemilik RMP bersangkutan. Mungkin juga keponakan jauh dari istri juragan RMP itu. Bisa pula sekadar orang sekampung yang diandaikan dapat melindungi pengusaha RMP dari rupa-rupa aksi pemalakan, atau sekadar gertak sambal dari pesaing yang bisa datang sewaktu-waktu. Foto-foto itu juga berarti ancaman bagi siapa saja yang berani mengusik-menganggu. Lagi pula siapa yang sungguh-sungguh bernyali menghadang bogem-mentah dari kepala tangan seorang anggota pasukan elit?

Demikianlah arti tentara bagi sebagian besar orang kampung saya, bukan saja bagi mereka yang bermukin di perantauan dengan membuka macam-macam usaha dagang, tapi juga bagi mereka yang bertahan di kampung halaman. Bila ada tentara di sebuah keluarga, maka ayah, adik, abang, dalam keluarga itu adalah juga tentara. Bukan itu saja, bahkan ayam jago atau sapi piaraan mereka, juga  dipandang sebagai tentara.

           Maka, jangan sekali-kali mencari perkara dengan ayam aduan milik keluarga tentara. Jangan mencari gara-gara dengan sapi dan kambing milik tuan Anu yang salah satu putranya adalah tentara. Kalau ada apa-apa, akan lebih aman menghindar atau mengalah saja. Berurusan dengan tentara sama saja dengan menyerahkan diri ke dalam musibah dan marabahaya yang turun dari kuasa manusia. Tangan kirinya dapat mengakibatkan Anda diusung ke ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) dalam keadaan hidung disumpal kapas, dan pangkal telinga bersimbah darah. Sementara tangan kanannya dapat mengantarkan Anda dalam perjalanan menuju negeri “Balikpapan” alias liang lahat. “Kau boleh berkelahi dengan siapa saja, tapi kalau bisa, hindarilah anak tentara!” itu nasihat almarhum ayah saya pada suatu ketika.          

Kalau ingin aman, maka bertemanlah dengan tentara. Dan, kalau ingin betul-betul aman, upayakan salah seorang dari putra Anda kelak menjadi tentara. Peduli setan dengan pangkat. Yang penting berseragam loreng, rambut cepak, dan muka bengis. Itulah yang kemudian terjadi di kampung saya. Banyak orang berupaya agar salah satu anggota keluarga, atau paling tidak anggota sukunya, ada yang lulus menjadi tentara. Apapun caranya akan mereka tempuh, hingga lama kelamaan, menjadi tentara adalah cita-cita paling mulia di kampung saya. Tentara begitu mahal harganya. Begitu terpandang martabatnya. Begitu menakutkan kedengarannya. Sekaya dan seberlimpah apapun harta sebuah keluarga, sehebat apapun pendidikan putra-putra terbaik di sebuah keluarga, tapi kalau masih nol tentara, rasanya ada yang kurang, ada yang belum sempurna. Menjadi tentara adalah keinginan yang hampir-hampir menjadi berhala di tanah kelahiran saya. Saya pasti bukan tentara. Tidak terlahir dari keluarga di mana ada tentara di dalamnya. Itu sebabnya hingga kini saya masih mengidap semacam sindrom takut pada tentara. Jangankan melihat tentara berseragam lengkap dan bersenjata, berpapasan atau sekadar duduk berdampingan dengan laki-laki tegap dan rambut cepak--yang belum tentu tentara sungguhan--saya sudah gemetar dan berkeringat dingin.

Maka, ribut-ribut soal buku yang disita tentara, saudagar buku yang tokonya digeledah tentara, soal perpustakaan jalanan yang kabarnya dibubarkan tentara, semakin membuat lutut saya menggigil. Atas dasar ketakutan itu, bagi saya, mengamankan buku-buku dan aktivitas membaca dari jangkauan tentara, tidaklah dengan melawannya. Lagi pula, saya tidak mungkin menang bila berkelahi dengan tentara. Sekali lagi, tangan kirinya adalah jalan menuju IGD, dan tangan kanannya adalah pesawat menuju liang lahat.





            Saat Jendral (Purn) Moeldoko (Mantan Panglima TNI) menyempatkan diri singgah ke perpustakaan pusat Universitas Indonesia-Depok pada Juli 2016 lalu, kepada sejawat Cak Tarno, saudagar buku cum pelaku tarekat buku terkemuka itu, saya sarankan untuk berfoto bersama sang Jenderal. “Upayakan posenya close-up, dengan ekspresi hangat, tanpa beban, seolah-olah sampean berteman dekat sejak lama dengan beliau…” Lalu, cetaklah foto itu dengan ukuran poster, figura-kacakan sedemikian rupa, dan gantungkan di ruang bagian dalam toko buku. Posisikan di tempat yang gampang dipandang dari semua arah. Saya belum memeriksa apakah Cak Tarno betul-betul menjalankan rencana itu, tapi saya yakin, pose bersama Pak Jenderal, apalagi mantan Panglima, akan sangat berguna. Akan sangat berfaedah, baik bagi saudagar buku, lebih-lebih bagi dunia buku dan dunia membaca, yang entah kenapa selalu dianggap berbahaya… 

@damhurimuhammad


Sunday, August 21, 2016

Tembakau Payakumbuh yang Payah-Tumbuh



 





Ribut-ribut soal harga rokok yang kabarnya akan segera melambung ke angka limapuluh ribu per bungkus mengingatkan saya pada petani tembakau di Payakumbuh, kampung kelahiran saya. Perihal kepayahan yang terus-menerus melanda mereka, pada 2011 lalu saya menyempatkan diri membuat sebuah esai foto bertajuk “Tembakau Payakumbuh yang Payah-Tumbuh.”
Meskipun tembakau Payakumbuh berkualitas ekspor, para petani di wilayah Kabupaten 50 Kota (Sumbar) itu, kerap menyebutnya sebagai “tembakau payah-tumbuh.” Betapa tidak?  Sudah turun-temurun menjadi petani tembakau, tapi  tidak satu pun yang terbilang berhasil. “Sejak dulu, bertani tembakau sekadar melepas-sesak dalam situasi sulit,” begitu kata Cimbik (53). 

 

 
Menggarap ladang tembakau tak lebih dari pelarian manakala hasil sawah tidak memadai. Tauke-tauke tembakau di Payakumbuh selalu siap dan bersenang hati mengucurkan pinjaman. Untuk biaya sekolah, atau biaya keberangkatan anak-anak mereka menjadi TKI di Malaysia, misalnya. “Kami bisa beroleh pinjaman dari tauke, meski tembakau belum ditanam,” kata Nuan (28), petani tembakau di Taram, Payakumbuh. 






Persoalannya kemudian adalah mereka harus bersetuju dengan  harga yang  dipatok tauke. Petani tembakau Payakumbuh tidak pernah tahu berapa harga pasaran tembakau yang sesungguhnya. Biasanya hasil panen hanya cukup untuk menutupi pinjaman pada tauke. Bila kata tauke mutu tembakau mereka sedang buruk, alih-alih  untung, mereka malah tekor. Kalau sudah begitu, mereka harus kembali menanam tembakau, merugi lagi, dan begitu seterusnya. Para petani tahu kalau tembakau mereka diekspor ke Penang, Malaysia, tapi mereka tidak pernah tahu tembakau Payakumbuh─disebut-sebut tembakau terbaik di Sumbar itu─diolah menjadi apa di sana. Mereka juga tidak pernah tahu berapa keuntungan yang diraup tauke dari penjualan tembakau mereka. 





Tapi mujurlah, para tengkulak itu masih berbaik-hati meringankan beban hidup mereka. Petani yang utangnya sudah menumpuk, biasanya diputihkan saja oleh tauke, asal mereka terus bersetia menggarap ladang tembakau. Maka, sepanjang cangkul masih bisa diayunkan, sepanjang peluh masih bisa dikucurkan, tembakau akan tetap ditanam, dan mengeluh lantaran tekor juga akan terus terjadi, entah sampai kapan.




Maka, naiknya cukai yang akan berakibat pada mahalnya harga rokok, semoga menjadi berkah bagi petani-petani tembakau di Payakumbuh. Barangkali saja mereka dapat berpaling dari bujuk-rayu para tengkulak yang sudah kekenyangan. Satu-dua bidang sawah mungkin masih bisa disisakan untuk bercocok-tanam tembakau, memproduksi rokok sendiri sesuai kemampuan modal masing-masing, guna melunaskan kebutuhan kaum “ahli hisap” dengan cita-rasa yang khas, dan harga yang tidak terlalu membuat gusar…

@damhurimuhammad     


Thursday, August 18, 2016

Khutbah Seekor Beruk














Di awal usia akil-baligh, bagi saya, jumat adalah hari yang penuh kehati-hatian, dan barangkali juga, hari yang sibuk dengan macam-macam persiapan. Bila tidak, ganjarannya adalah kemarahan. Pasalnya bukan saja wajib ke masjid untuk shalat jumat, tapi juga perihal kerapian yang rasanya berbeda sekali dengan hari-hari biasa. Rambut mesti rapi, kuku tak boleh panjang, baju dan sarung harus bersih, dan yang paling pokok adalah kopiah.
Sekadar datang ke masjid tidaklah cukup, karena tanpa kopiah, saya tetap akan kena semprot. Bila dikompori dengan laporan intel-intel cilik bahwa selama di masjid saya menjadi biang keributan yang menyebabkan para jamaah terganggu, maka hukumannya bukan saja sepuluh kali hempasan rotan di telapak tangan, tapi juga kehilangan jatah makan siang. Bila itu terjadi, maka sungguh celakalah saya hari itu.
Sambil meringis-ringis kesakitan, saya akan mengendap-endap ke rumah saudara ibu yang baik hati, meminta sekadar makan siang. Ia sudah maklum saja, dan pada setiap kedatangan saya dalam situasi terhukum semacam itu, ia persilahkan saja saya menyingkap tudung saji, lalu makan sekenyang-kenyangnya. “Urusan kopiah saja membuat repot saban jumat…” hanya begitu selalu ia berkomentar. Demikianlah dari jumat ke jumat, rumah itu senantiasa menjadi rumah pelarian, barangkali juga rumah perlindungan, dari hukuman yang hanya disebabkan oleh kelalaian saya memakai kopiah saat shalat jumat. “Lain kali simpan kopiahmu di mihrab masjid. Setiap ke masjid kau tinggal mengambilnya. Mau kau kena rotan terus tiap jumat?” begitu kata suami dari saudara ibu saya itu. Tapi, saya selalu lupa, saya selalu alpa, hingga saya kerap terlapor sebagai jamaah jumat anak-anak tanpa kopiah.
          Jumat adalah juga hari yang keramat di masa itu. Betapa tidak? Bahkan tukang panjat kelapa pun sengaja meliburkan diri  pada hari itu. Ada kisah tentang seorang tukang panjat kelapa di masa silam, yang masih bertengger di pohon, beberapa saat sebelum azan berkumandang. Badannya perlahan-lahan ditumbuhi bulu, mukanya berubah menjadi muka beruk, dan tak lama kemudian ia benar-benar beralih-rupa menjadi seekor beruk. Kisah itulah yang tersiar secara turun-temurun hingga sampailah pada generasi saya. Suatu ketika, saya lupa bahwa hari itu jumat. Saya sedang memanjat pohon pinang guna mengambil anak burung di pucuknya. Dari bawah tiba-tiba ada yang berteriak, “Hooooooooi, mau jadi beruk kau? Turuuuuuuuuuuuuun!” Saya bergegas meluncur turun, sebelum badan saya benar-benar ditumbuhi bulu, pantat saya ditumbuhi ekor, dan muka saya berubah jadi beruk.
           Hingga kini, alhamdulillah, saya masih baik-baik saja. Saya selamat dari kutukan menjadi beruk. Tapi menjelang dewasa, saya sempat bertanya-tanya, bila seekor beruk ikut shalat jumat, apakah hewan itu berpeluang dikutuk menjadi manusia? Pertanyaan ganjil itu tak kunjung sampai ke telinga ibu saya, juga pada saudara ibu yang baik hati itu. Saya hanya menyimpannya dalam lemari kenangan masa kanak-kanak, yang sesekali teringat pada hari Jumat. Tepatnya saat saya sadar bahwa saya lupa berkopiah, dan saya mengantuk berat tatkala khutbah pada jumat itu lebih panjang dari tali beruk… 

@damhurimuhammad



Tuesday, August 16, 2016

Nasionalisme Menjelang Petang Hari










15 Agustus 2016. Berselang dua hari sebelum hingar-bingar karnaval ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-71, seorang menteri secara terhormat, diberhentikan Presiden dari jabatannya. Pencopotan itu terselenggara lantaran status kewarganegaraan asing yang melekat pada menteri bersangkutan. Bila dihitung dari waktu pelantikan hingga waktu pemberhentian, maka umur jabatan menteri muda itu tiada lebih dari 20 hari. Kelak, sejarah akan mencatat masa jabatan menteri paling pendek, yang tentu akan disertai dengan catatan kaki perihal seleksi anggota kabinet paling ceroboh yang pernah ada di republik tercinta ini.

       Perihal begitu gampangnya orang mengganti sidik-jari keindonesiaan, atau sedemikian mengentalnya mentalitas inferior “menjadi-indonesia” hingga semakin banyaklah orang yang memasang niat untuk mencampakkan baju keindonesiaan dengan rupa-rupa dalih dan alasan, lamat-lamat saya teringat kolom lawas yang pernah saya tulis beberapa tahun lalu, tentang upaya gigih seorang putra tulen Indonesia yang terbuang bertahun-tahun di negeri orang, guna mendapatkan kembali pengakuan negara bagi status kewarganegaraannya.            

           Saya sebut saja namanya Sobron Aidit  (1934-2007).  Sejak 1964,  Sobron  bekerja sebagai pengajar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa Asing Beijing, di samping berkhidmat sebagai wartawan di Peking Review. Tak berselang lama sejak ia berdomisili di Beijing, tersiar kabar tentang tewasnya Bang Amat─begitu Sobron memanggil kakaknya, DN.  Aidit─setelah dibunuh tentara di Boyolali, Jawa Tengah. Karena sedang berada di Beijing, Sobron dan keluarga, serta ratusan orang Indonesia lainnya, selamat dari penumpasan rejim Orba. Mereka terpaksa bermukim di Tiongkok sambil terus berharap bisa pulang ke tanah air suatu saat kelak. Namun, harapan itu tak pernah kesampaian, pemerintahan Orde Baru terus-menerus memupuk dendam-kusumat pada kaum kiri. Akhirnya, Sobron Aidit menggelandang di negeri orang. Delapan  belas tahun di Tiongkok (sekarang RRC), dua puluh satu tahun di Paris, Prancis.

        Pada 1982, Sobron bersama  Umar Said, JJ.Kusni, Ibbaruri (putri D.N Aidit) dan kawan-kawan sesama eksil lainnya mendirikan sebuah  restoran Indonesia di  Rue de Vaugirard, jantung kota Paris. Apa yang sebenarnya hendak dicari Sobron? Selain untuk bertahan hidup, restoran itu menjadi saksi bahwa kaum eksil tak sungguh-sungguh merasa terasing dari tanah air mereka, Indonesia. Di restoran itu mereka sajikan aneka masakan khas Indonesia, mulai dari Nasi Rawon, Gudeg Jogja, hingga Rendang Padang, seolah-olah mereka tak sedang berada di negeri orang.  Banyak aral melintang yang menghadang Sobron selepas mendirikan restoran itu. KBRI Prancis bahkan mengeluarkan maklumat larangan berkunjung ke restoran milik orang-orang kiri itu, meski tak banyak yang mematuhinya. ”Masa’ makan di restoran saja dilarang?” begitu tanya Sobron dalam buku Melawan dengan Restoran (2007) yang ia tulis bersama Budi Kurniawan.

          Pertentangan ideologis masa lalu telah membuat hidup Sobron Aidit selalu berada di bawah tekanan dan ancaman, bahkan dalam urusan restoran yang tujuannya hanya untuk menyediakan lapangan kerja bagi kaum eksil pun dihubungkaitkan dengan perkara ideologi. Tapi, begitulah Sobron. Bila memang lewat restoran itu ia berpeluang melawan, tiada bakal ia sia-siakan peluang itu. Sobron akan terus melawan, meski hanya lewat restoran. Nasib dan peruntungan kaum eksil yang terkatung-katung selama berbilang tahun di negeri orang harus diperjuangkan. Lewat menu makanan, Sobron mengibarkan semangat keindonesiaan di restoran yang kelak menjadi tempat berkumpul mengasyikkan bagi para pejabat tanah air saat melancong ke Paris. Tak kurang-kurang, mantan presiden, Gus Dur berkali-kali  singgah di sana. 

           Meski jauh, tapi hampir setiap hari tulisan-tulisan Sobron (puisi, cerpen, kolom, esai, catatan-catatan perjalanan) dapat dijumpai di berbagai mailing-list. Ia berdiskusi, berpolemik, bahkan tak jarang berdebat sengit dengan kawan-kawan penulis muda tanah air. Sobron seorang maniak-diskusi, meski usianya sudah renta. Ia tak pernah abai pada kritik dan tanggapan kawan-kawan sesama anggota mailing list terhadap tulisan-tulisannya. Selalu dibalas, dan balasan itu jauh lebih  panjang dari esainya yang sedang jadi pusat perhatian. Dalam sehari, tak kurang dari tiga sampai empat tulisan ia kirimkan ke sejumlah mailing list. Rata-rata panjang tulisan itu lebih dari delapan halaman dengan format 1,5 spasi. Sebuah gambaran tentang energi kreatif yang  tiada pernah sumbing meski usianya waktu itu sudah berkepala tujuh. Dapat dibayangkan betapa sabar dan tekunnya ia duduk berlama-lama di depan komputer. Beberapa hari sebelum Sobron Aidit meninggal dunia pada 10 Februari 2007 lalu, seperti diceritakan salah seorang anaknya, beliau terpeleset dan jatuh di sebuah stasiun bawah tanah di Paris saat mencari layanan internet. Lagi-lagi untuk urusan berkomunikasi dengan kawan-kawan muda di dunia maya, di Indonesia. Sobron sepertinya “tidak di sana,” sebab ia sungguh “dekat di sini,” di negerinya sendiri, di Indonesia yang selalu disinggahinya, meski hanya lewat dunia maya.

        Hingga ajal datang menjemputnya, Sobron memang masih tercatat sebagai pemegang paspor Prancis, tapi Indonesia adalah tanah air ingatan yang tak akan pernah kerontang di sekujur tarikh hidupnya. Inilah barangkali bedanya Sobron dengan anak-anak muda yang belakangan tak segan-segan membuang baju kebangsaan mereka demi macam-macam pencapaian individual yang tak perlu saya uraikan di sini. Ada yang habis-habisan berikhtiar untuk mendapatkan kembali napas keindonesiaan yang menguap dari tubuhnya. Tapi, ada pula yang begitu jumawa menjadi malin kundang, lalu menutup semua pintu ingatan bagi rahim bernama Indonesia, yang melahirkannya. Dirgahayu bangsaku. Panjang umur juga hendaknya bangsa yang tak henti-henti dikhianati oleh anak-anak kandungnya sendiri...

@damhurimuhammad