Di awal usia akil-baligh, bagi saya, jumat adalah hari yang penuh kehati-hatian,
dan barangkali juga, hari yang sibuk dengan macam-macam persiapan. Bila tidak, ganjarannya
adalah kemarahan. Pasalnya bukan saja wajib ke masjid untuk
shalat jumat, tapi juga perihal kerapian yang rasanya berbeda sekali dengan
hari-hari biasa. Rambut mesti rapi, kuku tak boleh panjang, baju dan sarung
harus bersih, dan yang paling pokok adalah kopiah.
Sekadar datang
ke masjid tidaklah cukup, karena tanpa kopiah, saya tetap akan kena
semprot. Bila dikompori dengan laporan intel-intel cilik bahwa selama di masjid
saya menjadi biang keributan yang menyebabkan para jamaah
terganggu, maka hukumannya bukan saja sepuluh kali hempasan rotan di telapak
tangan, tapi juga kehilangan jatah makan siang. Bila itu terjadi, maka sungguh celakalah
saya hari itu.
Sambil
meringis-ringis kesakitan, saya akan mengendap-endap ke rumah saudara ibu yang
baik hati, meminta sekadar makan siang. Ia sudah maklum saja, dan pada setiap kedatangan
saya dalam situasi terhukum semacam itu, ia persilahkan saja saya menyingkap
tudung saji, lalu makan sekenyang-kenyangnya. “Urusan kopiah saja membuat repot
saban jumat…” hanya begitu selalu ia berkomentar. Demikianlah dari jumat ke
jumat, rumah itu senantiasa menjadi rumah pelarian, barangkali juga rumah
perlindungan, dari hukuman yang hanya disebabkan oleh kelalaian saya memakai
kopiah saat shalat jumat. “Lain kali simpan kopiahmu di mihrab masjid. Setiap
ke masjid kau tinggal mengambilnya. Mau kau kena rotan terus tiap jumat?”
begitu kata suami dari saudara ibu saya itu. Tapi, saya selalu lupa, saya
selalu alpa, hingga saya kerap terlapor sebagai jamaah jumat anak-anak tanpa
kopiah.
Jumat
adalah juga hari yang keramat di masa itu. Betapa tidak? Bahkan tukang panjat
kelapa pun sengaja meliburkan diri pada
hari itu. Ada kisah tentang seorang tukang panjat kelapa di masa silam, yang
masih bertengger di pohon, beberapa saat sebelum azan berkumandang.
Badannya perlahan-lahan ditumbuhi bulu, mukanya berubah menjadi muka beruk, dan
tak lama kemudian ia benar-benar beralih-rupa menjadi seekor beruk. Kisah
itulah yang tersiar secara turun-temurun hingga sampailah pada generasi saya.
Suatu ketika, saya lupa bahwa hari itu jumat. Saya sedang memanjat pohon pinang
guna mengambil anak burung di pucuknya. Dari bawah tiba-tiba ada yang
berteriak, “Hooooooooi, mau jadi beruk kau? Turuuuuuuuuuuuuun!” Saya bergegas
meluncur turun, sebelum badan saya benar-benar ditumbuhi bulu, pantat saya
ditumbuhi ekor, dan muka saya berubah jadi beruk.
Hingga kini, alhamdulillah, saya masih baik-baik saja. Saya selamat dari kutukan menjadi
beruk. Tapi menjelang dewasa, saya sempat bertanya-tanya, bila seekor beruk
ikut shalat jumat, apakah hewan itu berpeluang dikutuk menjadi manusia?
Pertanyaan ganjil itu tak kunjung sampai ke telinga ibu saya, juga pada saudara ibu
yang baik hati itu. Saya hanya menyimpannya dalam lemari kenangan masa
kanak-kanak, yang sesekali teringat pada hari Jumat. Tepatnya saat saya sadar
bahwa saya lupa berkopiah, dan saya mengantuk berat tatkala khutbah pada jumat
itu lebih panjang dari tali beruk…
@damhurimuhammad
No comments:
Post a Comment