Thursday, August 18, 2016

Khutbah Seekor Beruk














Di awal usia akil-baligh, bagi saya, jumat adalah hari yang penuh kehati-hatian, dan barangkali juga, hari yang sibuk dengan macam-macam persiapan. Bila tidak, ganjarannya adalah kemarahan. Pasalnya bukan saja wajib ke masjid untuk shalat jumat, tapi juga perihal kerapian yang rasanya berbeda sekali dengan hari-hari biasa. Rambut mesti rapi, kuku tak boleh panjang, baju dan sarung harus bersih, dan yang paling pokok adalah kopiah.
Sekadar datang ke masjid tidaklah cukup, karena tanpa kopiah, saya tetap akan kena semprot. Bila dikompori dengan laporan intel-intel cilik bahwa selama di masjid saya menjadi biang keributan yang menyebabkan para jamaah terganggu, maka hukumannya bukan saja sepuluh kali hempasan rotan di telapak tangan, tapi juga kehilangan jatah makan siang. Bila itu terjadi, maka sungguh celakalah saya hari itu.
Sambil meringis-ringis kesakitan, saya akan mengendap-endap ke rumah saudara ibu yang baik hati, meminta sekadar makan siang. Ia sudah maklum saja, dan pada setiap kedatangan saya dalam situasi terhukum semacam itu, ia persilahkan saja saya menyingkap tudung saji, lalu makan sekenyang-kenyangnya. “Urusan kopiah saja membuat repot saban jumat…” hanya begitu selalu ia berkomentar. Demikianlah dari jumat ke jumat, rumah itu senantiasa menjadi rumah pelarian, barangkali juga rumah perlindungan, dari hukuman yang hanya disebabkan oleh kelalaian saya memakai kopiah saat shalat jumat. “Lain kali simpan kopiahmu di mihrab masjid. Setiap ke masjid kau tinggal mengambilnya. Mau kau kena rotan terus tiap jumat?” begitu kata suami dari saudara ibu saya itu. Tapi, saya selalu lupa, saya selalu alpa, hingga saya kerap terlapor sebagai jamaah jumat anak-anak tanpa kopiah.
          Jumat adalah juga hari yang keramat di masa itu. Betapa tidak? Bahkan tukang panjat kelapa pun sengaja meliburkan diri  pada hari itu. Ada kisah tentang seorang tukang panjat kelapa di masa silam, yang masih bertengger di pohon, beberapa saat sebelum azan berkumandang. Badannya perlahan-lahan ditumbuhi bulu, mukanya berubah menjadi muka beruk, dan tak lama kemudian ia benar-benar beralih-rupa menjadi seekor beruk. Kisah itulah yang tersiar secara turun-temurun hingga sampailah pada generasi saya. Suatu ketika, saya lupa bahwa hari itu jumat. Saya sedang memanjat pohon pinang guna mengambil anak burung di pucuknya. Dari bawah tiba-tiba ada yang berteriak, “Hooooooooi, mau jadi beruk kau? Turuuuuuuuuuuuuun!” Saya bergegas meluncur turun, sebelum badan saya benar-benar ditumbuhi bulu, pantat saya ditumbuhi ekor, dan muka saya berubah jadi beruk.
           Hingga kini, alhamdulillah, saya masih baik-baik saja. Saya selamat dari kutukan menjadi beruk. Tapi menjelang dewasa, saya sempat bertanya-tanya, bila seekor beruk ikut shalat jumat, apakah hewan itu berpeluang dikutuk menjadi manusia? Pertanyaan ganjil itu tak kunjung sampai ke telinga ibu saya, juga pada saudara ibu yang baik hati itu. Saya hanya menyimpannya dalam lemari kenangan masa kanak-kanak, yang sesekali teringat pada hari Jumat. Tepatnya saat saya sadar bahwa saya lupa berkopiah, dan saya mengantuk berat tatkala khutbah pada jumat itu lebih panjang dari tali beruk… 

@damhurimuhammad



No comments:

Post a Comment