Thursday, August 11, 2016

Berbikini ke Cikini




Di depok, daerah tempat tinggal saya, ada anak muda yang giat berwirausaha dengan memproduksi makanan ringan bermerek "bikini" alias "bihun kekinian." Ia diperkarakan karena kemasan produknya bergambar pakaian dalam perempuan (bagian atas), dengan embel-embel kata; remas aku. Tudingannya tentu saja penyebarluasan konten pornografi.  Selain itu, produknya diklaim  tak punya ijin edar, dan stempel halal yang dicomot tanpa melalui sertifikasi Majlis Ulama Indonesia (MUI). Boleh jadi ia layak dipersalahkan, tapi berapa banyak konten pornografi yang saban hari bergentayangan di jalan raya, apalagi di dunia maya? Dan, seberapa banyak sebenarnya produk-prpduk industri rumahan yang mengantongi ijin edar, apalagi sertifikasi halal dari MUI? Lagi pula, kalau ditimbang-timbang, konten porno yang dipersoalkan itu lebih bercorak ilustratif ketimbang gambaran ril tentang salah satu organ vital perempuan. Bila dibandingkan dengan materi gambar pada iklan beha di majalah-majalah gaya hidup yang setiap hari dapat terlihat oleh anak-anak, rasanya gambar di kemasan bihun kekenian tidak ada apa-apanya. Frasa "remas aku" sudah pasti merujuk pada produk mie instan yang kering, dan untuk memudahkan, anak-anak dapat meremas kemasannya terlebih dahulu. Ini biasa saya lakukan saat mengonsumsi mie instan di masa kanak-kanak dulu. Dengan begitu, belum tentu anak-anak akan memikirkan hal-hal lain selain urusan cemilan ringan, saat berhadapan dengan kemasan bihun kekinian itu. Kadang-kadang kekhawatiran itu muncul karena kita melihatnya melulu dengan cara pandang orang dewasa. Padahal, dunia anak-anak adalah dunia yang sama sekali berbeda.  Atau jangan-jangan, karena kita terlalu sering menggunakan dalil moral, tapi abai menggunakan akal.  Belakangan ini, kita begitu histeria dengan dalil-dalil iman, kita surplus ustadz, tapi definisit ulama hebat.         




Masa berjualan kripik kemasan yang dipasarkan ke warung-warung di sekitar lingkungan mesti melapor juga pada negara? Kripik talas, kripik singkong, kripik kulit, atau bahkan kripik jengkol rasanya tetap maknyus dan laku keras tanpa ijin negara, tanpa stempel halal juga. Soal-soal remeh dan sepele dijaga ketat atas dasar “tahkyul” undang-undang, sementara perkara-perkara besar dan begitu serius malah tak terjangkau hukum. Maka, anak muda pemilik usaha makanan ringan "bikini" itu, sebaiknya tak usah risau. Ganti saja merek produknya dengan "Cikini" alias cinta kekinian. Saya kira negara dan MUI akan merestuinya…

@damhurimuhammad

No comments:

Post a Comment