Thursday, August 11, 2016

Tubuh Ayah Berwarna Tanah






Foto boleh saja lusuh, warnanya boleh saja luntur, tapi ingatan yang terkunci di dalamnya, ternyata tidak pernah berkarat. Masa itu ayah masih kokoh. Saat saya memperbaiki pintu dapur yang lepas dari engselnya, ayah masih was-was tenaga muda saya tidak akan mampu menggeret pintu itu sendirian, lalu ia tergesa datang membantu, hingga kami merehab dapur ibu bersama-sama. Masa itu ayah juga masih tangguh. Sepulang bekerja menggali sumur di rumah orang, sekujur tubuhnya bergelimang tanah liat. Seingat saya, hanya lidah ayah yang tak berwarna tanah. "Sepanjang sekop masih beradu dengan batu-batu di kedalaman sumur, jangan pernah ragu memancangkan cita-cita. Ayah akan terus bergelimang tanah, sementara kalian riang-gembiralah di dunia sekolah," begitu selalu ayah memompa semangat kami. Foto ini saya perkirakan di-capture pada tahun 1995, ketika saya pulang bersama seorang kawan yang membawa sebuah kamera analog. Juli 2012 lalu ayah pergi setelah menanggung sakit selama dua tahun. Saya tak sungguh-sungguh bisa merawatnya sebagaimana ia dengan santai menggendong tubuh kecil saya ke puskesmas tatkala saya panas tinggi selepas bermain bola dalam hujan deras. Saya tak bisa menyuapinya dengan makanan kegemaran lantaran ia sudah kehilangan selera. Sementara di masa balita, sepotong martabak yang nyaris terdorong ke dalam mulutnya ia renggut kembali, karena ia melihat mata saya menginginkan martabak terang bulan itu. Kini ayah sudah tiada, kegembiraan kami juga sudah lama berlalu, tapi saya tak pernah lupa bau tanah liat yang telah bersekutu dengan tubuh ayah, saya tak lupa napas kelelakian ayah, tak lupa asin peluh ayah, tak lupa cara tertawa ayah, tak lupa kekar jari tangan ayah. Saya percaya bahwa merindukan masa-masa bergelantungan di pundak ayah adalah semacam kegembiraan yang tidak lagi bersuara, semacam kesenyapan yang tidak lagi akan terbahasakan, di sepanjang hidup saya...

@damhurimuhammad

No comments:

Post a Comment