Foto
boleh saja lusuh, warnanya boleh saja luntur, tapi ingatan yang terkunci di
dalamnya, ternyata tidak pernah berkarat. Masa itu ayah masih kokoh. Saat saya
memperbaiki pintu dapur yang lepas dari engselnya, ayah masih was-was tenaga
muda saya tidak akan mampu menggeret pintu itu sendirian, lalu ia tergesa
datang membantu, hingga kami merehab dapur ibu bersama-sama. Masa itu ayah juga
masih tangguh. Sepulang bekerja menggali sumur di rumah orang, sekujur tubuhnya
bergelimang tanah liat. Seingat saya, hanya lidah
ayah yang tak berwarna tanah. "Sepanjang sekop masih beradu dengan
batu-batu di kedalaman sumur, jangan pernah ragu memancangkan cita-cita. Ayah
akan terus bergelimang tanah, sementara kalian riang-gembiralah di dunia
sekolah," begitu selalu ayah memompa semangat kami. Foto ini saya
perkirakan di-capture pada tahun 1995, ketika saya pulang bersama seorang kawan
yang membawa sebuah kamera analog. Juli 2012 lalu ayah pergi setelah menanggung
sakit selama dua tahun. Saya tak sungguh-sungguh bisa merawatnya sebagaimana ia
dengan santai menggendong tubuh kecil saya ke puskesmas tatkala saya panas
tinggi selepas bermain bola dalam hujan deras. Saya tak bisa menyuapinya dengan
makanan kegemaran lantaran ia sudah kehilangan selera. Sementara di masa
balita, sepotong martabak yang nyaris terdorong ke dalam mulutnya ia renggut
kembali, karena ia melihat mata saya menginginkan martabak terang bulan itu.
Kini ayah sudah tiada, kegembiraan kami juga sudah lama berlalu, tapi saya tak
pernah lupa bau tanah liat yang telah bersekutu dengan tubuh ayah, saya tak
lupa napas kelelakian ayah, tak lupa asin peluh ayah, tak lupa cara tertawa
ayah, tak lupa kekar jari tangan ayah. Saya percaya bahwa merindukan masa-masa
bergelantungan di pundak ayah adalah semacam kegembiraan yang tidak lagi
bersuara, semacam kesenyapan yang tidak lagi akan terbahasakan, di sepanjang
hidup saya...
@damhurimuhammad
No comments:
Post a Comment