Saya buka kolom ini dengan sebuah kabar
dari pedalaman Sumatera, yang saya terima beberapa waktu lalu. Pada petang yang
gersang, telah terjadi sebuah peristiwa naas di pematang sawah masa kanak-kanak
saya. Tubuh kekar paman saya--satu-satunya
laki-laki bertenaga yang masih tersisa di kampung halaman--tergeletak bergelimang darah. Sebilah
belati menikam rusuknya dari arah belakang. Ia tertuduh sebagai pencuri air
dari sawah seberang. Musim kemarau di Sumatera adalah juga musim
kucing-kucingan berebut air. Lengah sedikit, air bisa beralih ke sawah orang.
Itu berarti benih padi akan mati sebelum tinggi dan membesar. Bahasa yang
berlaku di musim payah itu bukanlah bahasa mulut, tapi bahasa parang, cangkul,
sabit, dan belati. Tikam-menikam, tusuk-menusuk, keroyok-mengeroyok, seperti
kebiasaan berkumur-kumur saban pagi. Bila kurang awas, areal persawahan bisa
berubah menjadi tanah pekuburan.
Begitulah
derita yang mendera paman saya. Sebelum bersimbah darah di pematang itu, ia juga
pernah dipolisikan oleh backing
komplotan penebang liar di hutan sekitar areal persawahan. Lahan sawah yang tak
seberapa, dahaga senantiasa, sementara aliran air dari bukit makin lama makin
langka, lantaran pohon-pohon terus ditebang. Paman saya pasang badan,
berkacak-pinggang di hadapan para jagoan itu, hingga tiba saatnya ia
dilumpuhkan dengan sebuah rekayasa tengik, lalu meringkuk di tahanan beberapa
lama. Tentu paman kalah, dan akhirnya berdamai dengan rupa-rupa kepayahan.
Tanpa harapan, tanpa perhatian, bahkan hingga keringat yang mengucur dari
kuduknya bercampur dengan amis darah di petang celaka itu.
Nestapa
itu bukan tanggungan paman saya seorang. Tapi, telah menjadi bagian dari
keseharian yang getir dari orang-orang Sumatera. Di Riau--provinsi terkaya ketiga di republik
Indonesia, dan daerah penghasil CPO terbesar dengan total produksi mencapai
7.570.854 ton/tahun (37% dari total produksi nasional)--lebih dari 6 juta warganya hanya bisa
pasrah dan tengadah dalam doa, saat menghadapi bencana asap, sejak 17 tahun
terakhir. Buku bertajuk Robohnya Sumatera
Kami (2015) mencatat, pembakaran lahan dan hutan di Sumatera--terutama di Sumsel Riau, Jambi dan
Bengkulu--sudah menjadi bagian dari almanak derita
masyarakatnya. Kalender derita itu konsisten dengan kalender kegiatan
perkebunan kelapa sawit dan HTI.
Buku
yang ditulis oleh para aktivis WALHI
wilayah Lampung, Sumsel, Jambi, Bengkulu, Sumbar, Riau hingga Aceh itu
bagai sedang membuat peta derita yang sedang dipikul Sumatera. Di ujung paling
utara, ada kisah tentang kelompok Tani di sebuah desa, bersama warga di sekitar
Gunung Rajabasa, Lampung Selatan, yang sedang terancam alam dan keselamatannya,
akibat industrialisasi, dan investasi rakus lahan. Juga kisah seorang Bapak di
Mesuji, korban kriminalisasi karena ia berupaya mempertahankan tanahnya dari
perampasan oleh korporasi perkebunan sawit. Masih di wilayah Lampung Selatan,
warga dijerumuskan ke dalam berbagai konflik horisontal dan vertikal, demi
melancarkan megaproyek pembangkit listrik geothermal.
Di
Bengkulu, ada kegetiran ibu bernama Yus. Ia menggugat perusahaan perkebunan
Kelapan Sawit tertua di Bengkulu, PTPN VII, karena perusahaan itu memaksanya
menyerahkan tanah terakhir miliknya, hanya tersisa 1,5 hektar setelah
perampasan oleh negara dan swasta, setelah penggusuran kuburan suaminya. Ada
pula kisah Mbah Kardi beserta warga di Bengkulu, yang harus tersingkir
berulang-ulang. Betapa tidak? Dahulu Mbah Kardi dipaksa menyerahkan tanah dan
kampungnya di Jawa untuk pembangunan waduk Gajah Mungkur, kini Mbah Kardi
dipaksa meninggalkan tanah dan kampungnya karena pertambangan batubara.
Nestapa
orang-orang di Bengkulu setali tiga uang dengan luka warga di Sumbar, seperti
di Batang Kapas (Kabupaten Pesisir Selatan), Palembayan (Kabaputen Agam), Kepulauan
Mentawai, dan Pasaman Barat. Mereka berkisah tentang perseteruan di antara
sesama mereka, tentang lahan-lahan pertanian yang lenyap, tentang kedaulatan
pangan yang hilang sehingga harus mengonsumsi beras miskin, tentang akses
transportasi-komunikasi yang tak memadai, lebih-lebih tentang ancaman bencana
gempa dan tsunami.
Saya
tak sedang mempromosikakan buku Robohnya
Sumatera Kami, yang penemuannya memang mengejutkan, bila tak bisa saya
sebut “membangkitkan kemarahan dan mengobarkan api perlawanan.” Buku itu hanya mengembalikan ingatan saya pada
Sumatera masa silam. Sumatera yang oleh Belanda dipilih sebagai wilayah utama
pengerukan bahan galian mineral dan batubara secara sistematik. Kuasa Belanda
menancap tajam selepas perjanjian Inggris-Belanda (Traktat London) pada 1824
dan 1871 yang mencabut klaim Inggris atas Sumatera, dan mengakhiri perang kedua
negara itu. Melalui eksploitasi ekonomi
dan keterampilan administrasi, Belanda perlahan-lahan membuka wilayah pedalaman
Sumatera dan mengukuhkan kekuasaannya sepanjang abad ke-19.
Lepas
dari cengkraman dan watak kemaruk kolonialisme Belanda, Sumatera disambut oleh
mulut santun ideologi pembangunan dengan segenap janji-janji muluk tentang
kemakmuran dan kesejahteraan. Dalam praktiknya, pertumbuhan yang senantiasa
dipidatokan itu, hanya mengabdi pada tolak-ukur ekonomi makro, seperti
Pendapatan Domestik Bruto (PDB), peroleh pajak, dan sederet instrumen statistik
lain, yang tak ada urusannya dengan perubahan
peruntungan masyarakat Sumatera. Pemerintah, pusat maupun daerah,
melihat manusia-manusia Sumatera tak lebih dari benda-benda demografik
yang berguna hanya di musim Pemilu dan
Pilkada. Lapangan kerja yang dijanjikan,
hanya dinikmati segelintir orang, karena industri memerlukan
tenaga-tenaga terampil. Maka, manusia-manusia Sumatera terjerat dalam jala
kemiskinan dengan jejaring bersimpul-mati. Bebas dari mulut harimau, nganga
mulut singa menyambutnya. Jauh lebih kejam, jauh lebih beringas.
Mengenang
Sumatera yang kaya, tapi manusia-manusianya tak kunjung dapat mencicipinya,
saya teringat obrolan santai dengan sejarahwan Anhar Gonggong di pantai Pulau
Bacan, Halmahera Selatan, suatu ketika. Kekayaan, kata Anhar, memiliki dua sisi
yang saling berseberangan. Ia bisa membuat pemiliknya berlimpah kesenangan,
tapi bisa pula membuat ia teraniaya dan begitu menderita. Karena kita kaya
rempah-rempah, minyak, biji besi, bauksit, nikel, tembaga, batubara, lalu
kolonialisme bercokol ratusan tahun lamanya. Lantaran kekayaan kita yang hendak
mereka kuasai, kita diadu-domba, dianiaya, dibuat mati sia-sia. Konon, di Papua
emas berurat-berakar, dan sudah puluhan tahun perusahaan asing mengeruknya. Sementara
masyarakatnya mengurut dada dalam menyiasati hidup yang mesti disewa.
Begitu pula
dengan kekayaan Sumatera. Sampai tak terbilang banyaknya, dan tak tertandai
lagi wilayahnya, tapi masyarakatnya harus lapang dada mengonsumsi beras miskin.
Kalau memang Pancasila punya sila tentang Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bagaimana cara menjelaskan makna
“keadilan” dalam terminologi “beras
miskin” (Raskin) itu? Bukankah yang kaya
dan yang miskin di republik ini
sama-sama makan nasi dari gabah yang tumbuh di sawah dan ladang yang sama? Ini bukan saja
pelecehan terhadap hak-hak hidup setiap warga negara, tapi juga penghinaan
terhadap gagasan keadilan itu sendiri. Dan, Sumatera lagi-lagi harus menangunggnya.
Begitulah
Sumatera. Si kaya yang kian letih. Si kaya yang sedang terpuruk dan
merintih-rintih. Orang-orang tak punya harapan akan masa depan seperti paman
saya, bergentayangan di mana-mana. Aceh, Sumut, Riau, Sumbar, Bengkulu, Jambi,
Sumsel hingga Lampung, sukar melepaskan diri dari almanak bencana. Baik bencana
akibat kekayaan hutannya dikeruk tanpa ampun, maupun bencana lantaran alamnya
memang rawan. Setiap hari batubaranya diangkut iring-iringan truk sarat-muatan,
tapi listrik di hampir semua wilayahnya, mati delapan kali sehari. Sumatera,
yang para pemikirnya konon dipuja sebagai penyangga kedigdayaan bangsa besar
ini, tapi kini warganya saling tikam, saling bunuh, saling terkam, berebut air
guna mengairi sawah yang retak-rengkah…
@damhurimuhammad
No comments:
Post a Comment