Thursday, August 11, 2016

Sumatera yang Letih







Saya buka kolom ini dengan sebuah kabar dari pedalaman Sumatera, yang saya terima beberapa waktu lalu. Pada petang yang gersang, telah terjadi sebuah peristiwa naas di pematang sawah masa kanak-kanak saya. Tubuh kekar paman saya--satu-satunya laki-laki bertenaga yang masih tersisa di kampung halaman--tergeletak bergelimang darah. Sebilah belati menikam rusuknya dari arah belakang. Ia tertuduh sebagai pencuri air dari sawah seberang. Musim kemarau di Sumatera adalah juga musim kucing-kucingan berebut air. Lengah sedikit, air bisa beralih ke sawah orang. Itu berarti benih padi akan mati sebelum tinggi dan membesar. Bahasa yang berlaku di musim payah itu bukanlah bahasa mulut, tapi bahasa parang, cangkul, sabit, dan belati. Tikam-menikam, tusuk-menusuk, keroyok-mengeroyok, seperti kebiasaan berkumur-kumur saban pagi. Bila kurang awas, areal persawahan bisa berubah menjadi tanah pekuburan.           
Begitulah derita yang mendera paman saya. Sebelum bersimbah darah di pematang itu, ia juga pernah dipolisikan oleh backing komplotan penebang liar di hutan sekitar areal persawahan. Lahan sawah yang tak seberapa, dahaga senantiasa, sementara aliran air dari bukit makin lama makin langka, lantaran pohon-pohon terus ditebang. Paman saya pasang badan, berkacak-pinggang di hadapan para jagoan itu, hingga tiba saatnya ia dilumpuhkan dengan sebuah rekayasa tengik, lalu meringkuk di tahanan beberapa lama. Tentu paman kalah, dan akhirnya berdamai dengan rupa-rupa kepayahan. Tanpa harapan, tanpa perhatian, bahkan hingga keringat yang mengucur dari kuduknya bercampur dengan amis darah di petang celaka itu.
           Nestapa itu bukan tanggungan paman saya seorang. Tapi, telah menjadi bagian dari keseharian yang getir dari orang-orang Sumatera. Di Riau--provinsi terkaya ketiga di republik Indonesia, dan daerah penghasil CPO terbesar dengan total produksi mencapai 7.570.854 ton/tahun (37% dari total produksi nasional)--lebih dari 6 juta warganya hanya bisa pasrah dan tengadah dalam doa, saat menghadapi bencana asap, sejak 17 tahun terakhir. Buku bertajuk Robohnya Sumatera Kami (2015) mencatat, pembakaran lahan dan hutan di Sumatera--terutama di Sumsel Riau, Jambi dan Bengkulu--sudah menjadi bagian dari almanak derita masyarakatnya. Kalender derita itu konsisten dengan kalender kegiatan perkebunan kelapa sawit dan HTI.
        Buku yang ditulis oleh para aktivis WALHI  wilayah Lampung, Sumsel, Jambi, Bengkulu, Sumbar, Riau hingga Aceh itu bagai sedang membuat peta derita yang sedang dipikul Sumatera. Di ujung paling utara, ada kisah tentang kelompok Tani di sebuah desa, bersama warga di sekitar Gunung Rajabasa, Lampung Selatan, yang sedang terancam alam dan keselamatannya, akibat industrialisasi, dan investasi rakus lahan. Juga kisah seorang Bapak di Mesuji, korban kriminalisasi karena ia berupaya mempertahankan tanahnya dari perampasan oleh korporasi perkebunan sawit. Masih di wilayah Lampung Selatan, warga dijerumuskan ke dalam berbagai konflik horisontal dan vertikal, demi melancarkan megaproyek pembangkit listrik geothermal.
            Di Bengkulu, ada kegetiran ibu bernama Yus. Ia menggugat perusahaan perkebunan Kelapan Sawit tertua di Bengkulu, PTPN VII, karena perusahaan itu memaksanya menyerahkan tanah terakhir miliknya, hanya tersisa 1,5 hektar setelah perampasan oleh negara dan swasta, setelah penggusuran kuburan suaminya. Ada pula kisah Mbah Kardi beserta warga di Bengkulu, yang harus tersingkir berulang-ulang. Betapa tidak? Dahulu Mbah Kardi dipaksa menyerahkan tanah dan kampungnya di Jawa untuk pembangunan waduk Gajah Mungkur, kini Mbah Kardi dipaksa meninggalkan tanah dan kampungnya karena pertambangan batubara.
            Nestapa orang-orang di Bengkulu setali tiga uang dengan luka warga di Sumbar, seperti di Batang Kapas (Kabupaten Pesisir Selatan), Palembayan (Kabaputen Agam), Kepulauan Mentawai, dan Pasaman Barat. Mereka berkisah tentang perseteruan di antara sesama mereka, tentang lahan-lahan pertanian yang lenyap, tentang kedaulatan pangan yang hilang sehingga harus mengonsumsi beras miskin, tentang akses transportasi-komunikasi yang tak memadai, lebih-lebih tentang ancaman bencana gempa dan tsunami.
        Saya tak sedang mempromosikakan buku Robohnya Sumatera Kami, yang penemuannya memang mengejutkan, bila tak bisa saya sebut “membangkitkan kemarahan dan mengobarkan api perlawanan.”  Buku itu hanya mengembalikan ingatan saya pada Sumatera masa silam. Sumatera yang oleh Belanda dipilih sebagai wilayah utama pengerukan bahan galian mineral dan batubara secara sistematik. Kuasa Belanda menancap tajam selepas perjanjian Inggris-Belanda (Traktat London) pada 1824 dan 1871 yang mencabut klaim Inggris atas Sumatera, dan mengakhiri perang kedua negara itu. Melalui eksploitasi ekonomi dan keterampilan administrasi, Belanda perlahan-lahan membuka wilayah pedalaman Sumatera dan mengukuhkan kekuasaannya sepanjang abad ke-19.
           Lepas dari cengkraman dan watak kemaruk kolonialisme Belanda, Sumatera disambut oleh mulut santun ideologi pembangunan dengan segenap janji-janji muluk tentang kemakmuran dan kesejahteraan. Dalam praktiknya, pertumbuhan yang senantiasa dipidatokan itu, hanya mengabdi pada tolak-ukur ekonomi makro, seperti Pendapatan Domestik Bruto (PDB), peroleh pajak, dan sederet instrumen statistik lain, yang tak ada urusannya dengan perubahan  peruntungan masyarakat Sumatera. Pemerintah, pusat maupun daerah, melihat manusia-manusia Sumatera tak lebih dari benda-benda demografik yang  berguna hanya di musim Pemilu dan Pilkada. Lapangan kerja yang dijanjikan,  hanya dinikmati segelintir orang, karena industri memerlukan tenaga-tenaga terampil. Maka, manusia-manusia Sumatera terjerat dalam jala kemiskinan dengan jejaring bersimpul-mati. Bebas dari mulut harimau, nganga mulut singa menyambutnya. Jauh lebih kejam, jauh lebih beringas.
            Mengenang Sumatera yang kaya, tapi manusia-manusianya tak kunjung dapat mencicipinya, saya teringat obrolan santai dengan sejarahwan Anhar Gonggong di pantai Pulau Bacan, Halmahera Selatan, suatu ketika. Kekayaan, kata Anhar, memiliki dua sisi yang saling berseberangan. Ia bisa membuat pemiliknya berlimpah kesenangan, tapi bisa pula membuat ia teraniaya dan begitu menderita. Karena kita kaya rempah-rempah, minyak, biji besi, bauksit, nikel, tembaga, batubara, lalu kolonialisme bercokol ratusan tahun lamanya. Lantaran kekayaan kita yang hendak mereka kuasai, kita diadu-domba, dianiaya, dibuat mati sia-sia. Konon, di Papua emas berurat-berakar, dan sudah puluhan tahun perusahaan asing mengeruknya. Sementara masyarakatnya mengurut dada dalam menyiasati hidup yang mesti disewa.
Begitu pula dengan kekayaan Sumatera. Sampai tak terbilang banyaknya, dan tak tertandai lagi wilayahnya, tapi masyarakatnya harus lapang dada mengonsumsi beras miskin. Kalau memang Pancasila punya sila tentang Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bagaimana cara menjelaskan makna “keadilan”  dalam terminologi “beras miskin” (Raskin) itu?  Bukankah yang kaya dan yang miskin di republik ini  sama-sama makan nasi dari gabah yang tumbuh di  sawah dan ladang yang sama? Ini bukan saja pelecehan terhadap hak-hak hidup setiap warga negara, tapi juga penghinaan terhadap gagasan keadilan itu sendiri. Dan, Sumatera lagi-lagi harus menangunggnya.   
         Begitulah Sumatera. Si kaya yang kian letih. Si kaya yang sedang terpuruk dan merintih-rintih. Orang-orang tak punya harapan akan masa depan seperti paman saya, bergentayangan di mana-mana. Aceh, Sumut, Riau, Sumbar, Bengkulu, Jambi, Sumsel hingga Lampung, sukar melepaskan diri dari almanak bencana. Baik bencana akibat kekayaan hutannya dikeruk tanpa ampun, maupun bencana lantaran alamnya memang rawan. Setiap hari batubaranya diangkut iring-iringan truk sarat-muatan, tapi listrik di hampir semua wilayahnya, mati delapan kali sehari. Sumatera, yang para pemikirnya konon dipuja sebagai penyangga kedigdayaan bangsa besar ini, tapi kini warganya saling tikam, saling bunuh, saling terkam, berebut air guna mengairi sawah yang retak-rengkah… 

@damhurimuhammad

No comments:

Post a Comment