Tuesday, August 23, 2016

Tentara dan Buku








Bila Anda penggemar Rumah Makan Padang (RMP), sambil menunggu makan siang terhidang, sesekali cobalah arahkan pandang ke selingkar ruang di dalam rumah makan itu. Bila tidak di dinding sisi kiri atau kanan tempat duduk Anda, maka di dinding sisi belakang meja kasir, biasanya ada sebuah foto ukuran sedang dengan pigura berlapis kaca, yang tampak jelas sejak dari pintu masuk. Di kebanyakan RMP, foto yang dimaksud adalah potret seorang tentara berseragam lengkap, tentu sekaligus memaklumatkan simbol kepangkatan yang melekat di bahu, atau sekadar di bagian lengannya saja. 






Meskipun foto tentara yang terpasang hanya seorang sersan, tapi  biasanya ia bagian dari pasukan elit, atau sebut sajalah Kopassus (Komando Pasukan Khusus). Ekspresi yang dapat ditangkap dari foto itu sudah pasti sangar dan menakutkan. Atau boleh jadi yang tampak adalah foto seorang prajurit yang tak terlalu bikin merinding. Posturnya biasa, tatap matanya kurang tajam, ekspresinya datar, tapi  tiga melati yang melekat di bahunya, menunjukkan bahwa ia bukan tentara sembarangan, tapi seorang kolonel, sodara. “Jangan macem-macem kau!” kira-kira begitu gertakan yang hendak dilisankan oleh potret dalam pigura kaca itu. Pokoknya, sejak dari foto anggota Kopassus, Denjaga (pasukan elit angkatan laut), Pamen (perwira menengah), dan Pati (perwira tinggi) dari berbagai kesatuan, dengan gampang Anda lihat setiap kali makan siang di RMP, di kota mana pun Anda berada.

       Orang tak perlu banyak bertanya siapa sesungguhnya sosok-sosok yang fotonya dipamerkan saban hari itu? Ia, bisa jadi anak dari pemilik RMP bersangkutan. Mungkin juga keponakan jauh dari istri juragan RMP itu. Bisa pula sekadar orang sekampung yang diandaikan dapat melindungi pengusaha RMP dari rupa-rupa aksi pemalakan, atau sekadar gertak sambal dari pesaing yang bisa datang sewaktu-waktu. Foto-foto itu juga berarti ancaman bagi siapa saja yang berani mengusik-menganggu. Lagi pula siapa yang sungguh-sungguh bernyali menghadang bogem-mentah dari kepala tangan seorang anggota pasukan elit?

Demikianlah arti tentara bagi sebagian besar orang kampung saya, bukan saja bagi mereka yang bermukin di perantauan dengan membuka macam-macam usaha dagang, tapi juga bagi mereka yang bertahan di kampung halaman. Bila ada tentara di sebuah keluarga, maka ayah, adik, abang, dalam keluarga itu adalah juga tentara. Bukan itu saja, bahkan ayam jago atau sapi piaraan mereka, juga  dipandang sebagai tentara.

           Maka, jangan sekali-kali mencari perkara dengan ayam aduan milik keluarga tentara. Jangan mencari gara-gara dengan sapi dan kambing milik tuan Anu yang salah satu putranya adalah tentara. Kalau ada apa-apa, akan lebih aman menghindar atau mengalah saja. Berurusan dengan tentara sama saja dengan menyerahkan diri ke dalam musibah dan marabahaya yang turun dari kuasa manusia. Tangan kirinya dapat mengakibatkan Anda diusung ke ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) dalam keadaan hidung disumpal kapas, dan pangkal telinga bersimbah darah. Sementara tangan kanannya dapat mengantarkan Anda dalam perjalanan menuju negeri “Balikpapan” alias liang lahat. “Kau boleh berkelahi dengan siapa saja, tapi kalau bisa, hindarilah anak tentara!” itu nasihat almarhum ayah saya pada suatu ketika.          

Kalau ingin aman, maka bertemanlah dengan tentara. Dan, kalau ingin betul-betul aman, upayakan salah seorang dari putra Anda kelak menjadi tentara. Peduli setan dengan pangkat. Yang penting berseragam loreng, rambut cepak, dan muka bengis. Itulah yang kemudian terjadi di kampung saya. Banyak orang berupaya agar salah satu anggota keluarga, atau paling tidak anggota sukunya, ada yang lulus menjadi tentara. Apapun caranya akan mereka tempuh, hingga lama kelamaan, menjadi tentara adalah cita-cita paling mulia di kampung saya. Tentara begitu mahal harganya. Begitu terpandang martabatnya. Begitu menakutkan kedengarannya. Sekaya dan seberlimpah apapun harta sebuah keluarga, sehebat apapun pendidikan putra-putra terbaik di sebuah keluarga, tapi kalau masih nol tentara, rasanya ada yang kurang, ada yang belum sempurna. Menjadi tentara adalah keinginan yang hampir-hampir menjadi berhala di tanah kelahiran saya. Saya pasti bukan tentara. Tidak terlahir dari keluarga di mana ada tentara di dalamnya. Itu sebabnya hingga kini saya masih mengidap semacam sindrom takut pada tentara. Jangankan melihat tentara berseragam lengkap dan bersenjata, berpapasan atau sekadar duduk berdampingan dengan laki-laki tegap dan rambut cepak--yang belum tentu tentara sungguhan--saya sudah gemetar dan berkeringat dingin.

Maka, ribut-ribut soal buku yang disita tentara, saudagar buku yang tokonya digeledah tentara, soal perpustakaan jalanan yang kabarnya dibubarkan tentara, semakin membuat lutut saya menggigil. Atas dasar ketakutan itu, bagi saya, mengamankan buku-buku dan aktivitas membaca dari jangkauan tentara, tidaklah dengan melawannya. Lagi pula, saya tidak mungkin menang bila berkelahi dengan tentara. Sekali lagi, tangan kirinya adalah jalan menuju IGD, dan tangan kanannya adalah pesawat menuju liang lahat.





            Saat Jendral (Purn) Moeldoko (Mantan Panglima TNI) menyempatkan diri singgah ke perpustakaan pusat Universitas Indonesia-Depok pada Juli 2016 lalu, kepada sejawat Cak Tarno, saudagar buku cum pelaku tarekat buku terkemuka itu, saya sarankan untuk berfoto bersama sang Jenderal. “Upayakan posenya close-up, dengan ekspresi hangat, tanpa beban, seolah-olah sampean berteman dekat sejak lama dengan beliau…” Lalu, cetaklah foto itu dengan ukuran poster, figura-kacakan sedemikian rupa, dan gantungkan di ruang bagian dalam toko buku. Posisikan di tempat yang gampang dipandang dari semua arah. Saya belum memeriksa apakah Cak Tarno betul-betul menjalankan rencana itu, tapi saya yakin, pose bersama Pak Jenderal, apalagi mantan Panglima, akan sangat berguna. Akan sangat berfaedah, baik bagi saudagar buku, lebih-lebih bagi dunia buku dan dunia membaca, yang entah kenapa selalu dianggap berbahaya… 

@damhurimuhammad


No comments:

Post a Comment