Bila Anda penggemar Rumah Makan Padang (RMP),
sambil menunggu makan siang terhidang, sesekali cobalah arahkan pandang ke
selingkar ruang di dalam rumah makan itu. Bila tidak di dinding sisi kiri atau kanan
tempat duduk Anda, maka di dinding sisi belakang meja kasir, biasanya ada sebuah
foto ukuran sedang dengan pigura berlapis kaca, yang tampak jelas sejak dari
pintu masuk. Di kebanyakan RMP, foto yang dimaksud adalah potret seorang
tentara berseragam lengkap, tentu sekaligus memaklumatkan simbol
kepangkatan yang melekat di bahu, atau sekadar di bagian lengannya saja.
Meskipun foto
tentara yang terpasang hanya seorang sersan, tapi biasanya ia bagian dari pasukan elit, atau sebut
sajalah Kopassus (Komando Pasukan Khusus). Ekspresi yang dapat ditangkap dari
foto itu sudah pasti sangar dan menakutkan. Atau boleh jadi yang tampak adalah
foto seorang prajurit yang tak terlalu bikin merinding. Posturnya biasa, tatap
matanya kurang tajam, ekspresinya datar, tapi
tiga melati yang melekat di bahunya, menunjukkan bahwa ia bukan tentara
sembarangan, tapi seorang kolonel, sodara. “Jangan macem-macem kau!” kira-kira
begitu gertakan yang hendak dilisankan oleh potret dalam pigura kaca itu.
Pokoknya, sejak dari foto anggota Kopassus, Denjaga (pasukan elit angkatan
laut), Pamen (perwira menengah), dan Pati (perwira tinggi) dari berbagai
kesatuan, dengan gampang Anda lihat setiap kali makan siang di RMP, di kota
mana pun Anda berada.
Orang tak perlu banyak bertanya siapa
sesungguhnya sosok-sosok yang fotonya dipamerkan saban hari itu? Ia, bisa jadi
anak dari pemilik RMP bersangkutan. Mungkin juga keponakan jauh dari istri
juragan RMP itu. Bisa pula sekadar orang sekampung yang diandaikan dapat
melindungi pengusaha RMP dari rupa-rupa aksi pemalakan, atau sekadar gertak
sambal dari pesaing yang bisa datang sewaktu-waktu. Foto-foto itu juga berarti
ancaman bagi siapa saja yang berani mengusik-menganggu. Lagi pula siapa yang
sungguh-sungguh bernyali menghadang bogem-mentah dari kepala tangan seorang anggota
pasukan elit?
Demikianlah
arti tentara bagi sebagian besar orang kampung saya, bukan saja bagi mereka
yang bermukin di perantauan dengan membuka macam-macam usaha dagang, tapi juga
bagi mereka yang bertahan di kampung halaman. Bila ada tentara di sebuah
keluarga, maka ayah, adik, abang, dalam keluarga itu adalah juga tentara. Bukan
itu saja, bahkan ayam jago atau sapi piaraan mereka, juga dipandang sebagai tentara.
Maka,
jangan sekali-kali mencari perkara dengan ayam aduan milik keluarga tentara.
Jangan mencari gara-gara dengan sapi dan kambing milik tuan Anu yang salah satu
putranya adalah tentara. Kalau ada apa-apa, akan lebih aman menghindar atau
mengalah saja. Berurusan dengan tentara sama saja dengan menyerahkan diri ke
dalam musibah dan marabahaya yang turun dari kuasa manusia. Tangan kirinya
dapat mengakibatkan Anda diusung ke ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) dalam keadaan hidung
disumpal kapas, dan pangkal telinga bersimbah darah. Sementara tangan kanannya
dapat mengantarkan Anda dalam perjalanan menuju negeri “Balikpapan” alias liang
lahat. “Kau boleh berkelahi dengan siapa saja, tapi kalau bisa, hindarilah anak
tentara!” itu nasihat almarhum ayah saya pada suatu ketika.
Kalau ingin
aman, maka bertemanlah dengan tentara. Dan, kalau ingin betul-betul aman,
upayakan salah seorang dari putra Anda kelak menjadi tentara. Peduli setan
dengan pangkat. Yang penting berseragam loreng, rambut cepak, dan muka bengis.
Itulah yang kemudian terjadi di kampung saya. Banyak orang berupaya agar salah
satu anggota keluarga, atau paling tidak anggota sukunya, ada yang lulus
menjadi tentara. Apapun caranya akan mereka tempuh, hingga lama kelamaan,
menjadi tentara adalah cita-cita paling mulia di kampung saya. Tentara begitu
mahal harganya. Begitu terpandang martabatnya. Begitu menakutkan kedengarannya.
Sekaya dan seberlimpah apapun harta sebuah keluarga, sehebat apapun pendidikan
putra-putra terbaik di sebuah keluarga, tapi kalau masih nol tentara, rasanya
ada yang kurang, ada yang belum sempurna. Menjadi tentara adalah keinginan
yang hampir-hampir menjadi berhala di tanah kelahiran saya. Saya pasti bukan
tentara. Tidak terlahir dari keluarga di mana ada tentara di dalamnya. Itu
sebabnya hingga kini saya masih mengidap semacam sindrom takut pada tentara. Jangankan
melihat tentara berseragam lengkap dan bersenjata, berpapasan atau sekadar duduk
berdampingan dengan laki-laki tegap dan rambut cepak--yang belum tentu tentara sungguhan--saya sudah gemetar dan berkeringat
dingin.
Maka,
ribut-ribut soal buku yang disita tentara, saudagar buku yang tokonya digeledah
tentara, soal perpustakaan jalanan yang kabarnya dibubarkan tentara, semakin membuat
lutut saya menggigil. Atas dasar ketakutan itu, bagi saya, mengamankan
buku-buku dan aktivitas membaca dari jangkauan tentara, tidaklah dengan
melawannya. Lagi pula, saya tidak mungkin menang bila berkelahi dengan tentara.
Sekali lagi, tangan kirinya adalah jalan menuju IGD, dan tangan kanannya adalah
pesawat menuju liang lahat.
Saat
Jendral (Purn) Moeldoko (Mantan Panglima TNI) menyempatkan diri singgah ke perpustakaan pusat Universitas Indonesia-Depok pada Juli 2016 lalu, kepada
sejawat Cak Tarno, saudagar buku cum pelaku tarekat buku terkemuka itu, saya sarankan untuk berfoto
bersama sang Jenderal. “Upayakan posenya close-up, dengan ekspresi hangat, tanpa beban, seolah-olah sampean
berteman dekat sejak lama dengan beliau…” Lalu, cetaklah foto itu dengan ukuran
poster, figura-kacakan sedemikian rupa, dan gantungkan di ruang bagian dalam toko
buku. Posisikan di tempat yang gampang dipandang dari semua arah. Saya belum
memeriksa apakah Cak Tarno betul-betul menjalankan rencana itu, tapi saya yakin, pose bersama Pak Jenderal, apalagi mantan Panglima, akan sangat berguna.
Akan sangat berfaedah, baik bagi saudagar buku, lebih-lebih bagi dunia buku dan
dunia membaca, yang entah kenapa selalu dianggap berbahaya…
@damhurimuhammad
No comments:
Post a Comment