Sunday, August 21, 2016

Tembakau Payakumbuh yang Payah-Tumbuh



 





Ribut-ribut soal harga rokok yang kabarnya akan segera melambung ke angka limapuluh ribu per bungkus mengingatkan saya pada petani tembakau di Payakumbuh, kampung kelahiran saya. Perihal kepayahan yang terus-menerus melanda mereka, pada 2011 lalu saya menyempatkan diri membuat sebuah esai foto bertajuk “Tembakau Payakumbuh yang Payah-Tumbuh.”
Meskipun tembakau Payakumbuh berkualitas ekspor, para petani di wilayah Kabupaten 50 Kota (Sumbar) itu, kerap menyebutnya sebagai “tembakau payah-tumbuh.” Betapa tidak?  Sudah turun-temurun menjadi petani tembakau, tapi  tidak satu pun yang terbilang berhasil. “Sejak dulu, bertani tembakau sekadar melepas-sesak dalam situasi sulit,” begitu kata Cimbik (53). 

 

 
Menggarap ladang tembakau tak lebih dari pelarian manakala hasil sawah tidak memadai. Tauke-tauke tembakau di Payakumbuh selalu siap dan bersenang hati mengucurkan pinjaman. Untuk biaya sekolah, atau biaya keberangkatan anak-anak mereka menjadi TKI di Malaysia, misalnya. “Kami bisa beroleh pinjaman dari tauke, meski tembakau belum ditanam,” kata Nuan (28), petani tembakau di Taram, Payakumbuh. 






Persoalannya kemudian adalah mereka harus bersetuju dengan  harga yang  dipatok tauke. Petani tembakau Payakumbuh tidak pernah tahu berapa harga pasaran tembakau yang sesungguhnya. Biasanya hasil panen hanya cukup untuk menutupi pinjaman pada tauke. Bila kata tauke mutu tembakau mereka sedang buruk, alih-alih  untung, mereka malah tekor. Kalau sudah begitu, mereka harus kembali menanam tembakau, merugi lagi, dan begitu seterusnya. Para petani tahu kalau tembakau mereka diekspor ke Penang, Malaysia, tapi mereka tidak pernah tahu tembakau Payakumbuh─disebut-sebut tembakau terbaik di Sumbar itu─diolah menjadi apa di sana. Mereka juga tidak pernah tahu berapa keuntungan yang diraup tauke dari penjualan tembakau mereka. 





Tapi mujurlah, para tengkulak itu masih berbaik-hati meringankan beban hidup mereka. Petani yang utangnya sudah menumpuk, biasanya diputihkan saja oleh tauke, asal mereka terus bersetia menggarap ladang tembakau. Maka, sepanjang cangkul masih bisa diayunkan, sepanjang peluh masih bisa dikucurkan, tembakau akan tetap ditanam, dan mengeluh lantaran tekor juga akan terus terjadi, entah sampai kapan.




Maka, naiknya cukai yang akan berakibat pada mahalnya harga rokok, semoga menjadi berkah bagi petani-petani tembakau di Payakumbuh. Barangkali saja mereka dapat berpaling dari bujuk-rayu para tengkulak yang sudah kekenyangan. Satu-dua bidang sawah mungkin masih bisa disisakan untuk bercocok-tanam tembakau, memproduksi rokok sendiri sesuai kemampuan modal masing-masing, guna melunaskan kebutuhan kaum “ahli hisap” dengan cita-rasa yang khas, dan harga yang tidak terlalu membuat gusar…

@damhurimuhammad     


No comments:

Post a Comment