Ribut-ribut
soal harga rokok yang kabarnya akan segera melambung ke angka limapuluh ribu
per bungkus mengingatkan saya pada petani tembakau di Payakumbuh, kampung
kelahiran saya. Perihal kepayahan yang terus-menerus melanda mereka, pada 2011
lalu saya menyempatkan diri membuat sebuah esai foto bertajuk “Tembakau Payakumbuh
yang Payah-Tumbuh.”
Meskipun tembakau Payakumbuh berkualitas ekspor, para
petani di wilayah Kabupaten 50 Kota (Sumbar) itu, kerap menyebutnya sebagai
“tembakau payah-tumbuh.” Betapa tidak?
Sudah turun-temurun menjadi petani tembakau, tapi tidak satu pun yang terbilang berhasil.
“Sejak dulu, bertani tembakau sekadar melepas-sesak
dalam situasi sulit,” begitu kata Cimbik (53).
Menggarap ladang tembakau tak lebih dari pelarian manakala
hasil sawah tidak memadai. Tauke-tauke tembakau di Payakumbuh selalu siap dan
bersenang hati mengucurkan pinjaman.
Untuk biaya sekolah, atau biaya keberangkatan anak-anak mereka menjadi TKI di
Malaysia, misalnya. “Kami bisa beroleh pinjaman dari tauke, meski tembakau belum
ditanam,” kata Nuan (28), petani tembakau di Taram, Payakumbuh.
Persoalannya kemudian adalah mereka harus bersetuju
dengan harga yang dipatok tauke. Petani tembakau Payakumbuh
tidak pernah tahu berapa harga pasaran tembakau yang sesungguhnya. Biasanya
hasil panen hanya cukup untuk menutupi pinjaman pada tauke. Bila kata tauke
mutu tembakau mereka sedang buruk, alih-alih untung, mereka malah tekor. Kalau sudah
begitu, mereka harus kembali menanam tembakau, merugi lagi, dan begitu
seterusnya. Para petani tahu kalau tembakau mereka diekspor ke Penang,
Malaysia, tapi mereka tidak pernah tahu tembakau Payakumbuh─disebut-sebut
tembakau terbaik di Sumbar itu─diolah menjadi apa di sana. Mereka juga tidak
pernah tahu berapa keuntungan yang diraup tauke dari penjualan tembakau mereka.
Tapi mujurlah, para tengkulak itu masih berbaik-hati
meringankan beban hidup mereka. Petani yang utangnya sudah menumpuk, biasanya
diputihkan saja oleh tauke, asal mereka terus bersetia menggarap ladang
tembakau. Maka, sepanjang cangkul masih bisa diayunkan, sepanjang peluh masih bisa
dikucurkan, tembakau akan tetap ditanam, dan mengeluh lantaran tekor juga akan terus
terjadi, entah sampai kapan.
Maka, naiknya cukai yang akan berakibat pada mahalnya harga
rokok, semoga menjadi berkah bagi petani-petani tembakau di Payakumbuh.
Barangkali saja mereka dapat berpaling dari bujuk-rayu para tengkulak yang
sudah kekenyangan. Satu-dua bidang sawah mungkin masih bisa disisakan untuk
bercocok-tanam tembakau, memproduksi rokok sendiri sesuai kemampuan modal
masing-masing, guna melunaskan kebutuhan kaum “ahli hisap” dengan cita-rasa yang
khas, dan harga yang tidak terlalu membuat gusar…
@damhurimuhammad
No comments:
Post a Comment