Alih-alih menghembuskan hawa sejuk, cuaca politik
masa kini terasa kian gerah. Lalu-lalang subyek-subyek politik bagai sedang terkepung
dalam kerumunan yang tak dapat dinamai. Kasak-kusuk, petantang-petenteng, berebut
panggung, hanya untuk memperlihatkan kecerdasan yang semata-mata tegak di atas
kefasihan berbahasa. Seolah-olah merekalah yang paling layak dipercaya, paling
pantas dinobatkan, dan yang paling laten bahayanya adalah seolah-olah hanya dari
mulut mereka bersumbernya segala macam kebenaran. Saban hari mereka memproduksi
lingkaran Simulakra di layar kaca.
Lingkaran berdiameter tiada terhingga, tempat berkelit-kelindannya kebenaran
dan dusta, kejujuran dan kemunafikan, ketercemaran dan keterkenalan, yang tiada
bakal pernah bisa dipilah, apalagi dijernihkan. Inilah moralitas yang
barangkali dapat dikiaskan dengan tabiat ikan lele; keruh dahulu, baru bisa
makan.
Bila di masa
lalu, hakikat politik adalah ikhtiar memperjuangkan gagasan demi maslahat
bersama, di masa kini politik adalah arena balapan mengendarai kerumunan
manusia. Siapa yang handal menunggangi kerumunan, dialah yang bakal keluar
sebagai pemenang. Lalu di mana demos
(rakyat) yang dalam filsafat politik klasik diagung-agungkan sebagai pelaku utama
dari lembaga kuasa (kratos)? Demos yang dalam pengandaian filsuf Plato
sebagai subyek politik berakal-budi, atau yang dalam teori politik mutakhir disebut
pemilih rasional. Tak ada rasionalitas dalam lingkaran politik simulakra itu,
bahkan dalam massa partai politik sekalipun. Dalam kerumunan, yang tampak hanya
lalu-lalang tubuh, bukan lalu-lintas pikiran.
Membayangkan
demos sebagai rakyat yang
berakal-budi, dalam demokrasi transaksional tentu sebuah kemustahilan. Orang
lebih gandrung bertanya berapa banyak modal yang telah terkuras guna meraih
sebuah kursi di parlemen, ketimbang berapa banyak pikiran yang dikerahkan guna
merengkuh dukungan. Itu berarti akal-budi sudah mati. Gagasan hanya omong kosong.
Demos tak lebih dari angan-angan kaum
pemikir masa silam. Dengan begitu, lembaga kuasa (kratos) yang ternobatkan jauh pula dari basis akal-budi. Ia juga
menjelma kerumunan yang rapuh. Tanpa fondasi ideologi, visi, apalagi political will guna memenuhi harapan banyak
orang. Distribusi kekuasaan tak lebih dari bagi-bagi kue kemenangan dengan
pihak-pihak yang tercatat sebagai penanam jasa politik, tanpa pertimbangan kepatutan
dan kepantasan, apalagi kompetensi.
Kerumunan
yang kini sedang bimbang, jengkel dan kecewa bukanlah persoalan besar bagi kaum
penguasa. Dia hanya perlu dijinakkan dengan sebuah perkakas bernama keramahan (hospitality). Bagi-bagikan saja Kartu
Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, bila perlu sebarkan pula Kartu Anti
Miskin. Bila ada bencana, kunjungi dan rangkul mereka, beri bantuan sekadarnya,
dan tunjukkan raut muka sedih di hadapan mereka. Bila Anda seorang Walikota,
urus saja taman, lapangkan ruang terbuka hijau, jaga kebersihannya, rawat
baik-baik. Itu juga keramahan yang paling mudah guna menjinakkan kerumunan.
Intinya, pengabdian Anda upayakan selalu tampak di permukaan, senantiasa kasat
mata, dan sering-seringlah mengabadikannya dalam gambar. Anda tidak perlu
merancang sistem pelayanan publik, sistem keuangan terpadu semacam e-budgeting, dan sistem distribusi
barang, sebab itu adalah barang yang tak tampak, dan sukar diabadikan dalam
gambar. Kerumunan massa bakal menganggapnya tidak ada. Visi pembangunan jangka
panjang, reformasi birokrasi yang sudah karatan dan bobrok, etos pelayanan
publik yang profesional, inovasi guna merangsang pertumbuhan ekonomi,
transparansi anggaran, bukanlah pilihan yang rasional.
Tabiat
politik kerumunan sama dan sebangun dengan moralitas kehidupan komunal kita.
Keramahan (hospitality) berada di
atas integritas, dedikasi, kejujuran, tanggung jawab dan political will. Murid yang baik adalah murid yang ramah dan patuh
pada guru, bukan patuh pada buku. Padahal dalam kepatuhan itu, ada kepandiran
yang diam-diam disembunyikan, ada itikad buruk yang dibungkus rapi. Ada hipokrasi
dalam keramahan. Bila ada murid brilian, tapi gemar menyangkal kata guru, itu nakal
dan tak santun. Bagi orangtua murid, guru yang baik adalah guru yang ramah.
Meski dalam keramahan itu ada sandiwara yang terus dimainkan, ada basa-basi
yang membosankan, ada hipokrasi terselubung. Keluarga yang baik adalah keluarga
yang ramah pada sesama, yang banyak berderma, membantu kaum yang susah. Tampak
gemilang di permukaan, tapi membusuk di kedalaman. Kesalehan tegak menjulang
tinggi, tapi kejernihan hati tertinggal di kopiah haji. Ideologi keramahan
sedang berada di menara tinggi, sementara akal-budi dan kejujuran tertinggal di
kaos kaki.
Inilah yang
terus berlangsung dalam politik kerumunan. Satu orang waras dari komplotan
orang gila, akan membuat si waras terkutuk sebagai “yang gila,” kerumunan orang
gila akan beroleh predikat “yang waras”. Itu pula hukum yang berlaku bagi satu
orang cerdik dalam komplotan orang pandir. Sepanjang subyek-subyek politik
masih terkepung dalam kerumunan yang tak ternamai, realitas keseharian kita
akan terus jungkir-balik, dan hakikat politik tak akan kembali menjadi
pertarungan memperjuangkan gagasan dan pikiran. Lakon-lakon dalam teater
politik akan semakin dikuasai oleh kaum saudagar, yang berkelimpahan modal guna
mengendarai kerumunan. Keramahan akan terus menjadi perkakas. Hipokrasi menjadi
sarana. Kejujuran dan akal-budi dimusuhi. Kepandiran senantiasa dirayakan…
@damhurimuhammad
No comments:
Post a Comment