Thursday, August 11, 2016

Politik Keramahan








Alih-alih menghembuskan hawa sejuk, cuaca politik masa kini terasa kian gerah. Lalu-lalang subyek-subyek politik bagai sedang terkepung dalam kerumunan yang tak dapat dinamai. Kasak-kusuk, petantang-petenteng, berebut panggung, hanya untuk memperlihatkan kecerdasan yang semata-mata tegak di atas kefasihan berbahasa. Seolah-olah merekalah yang paling layak dipercaya, paling pantas dinobatkan, dan yang paling laten bahayanya adalah seolah-olah hanya dari mulut mereka bersumbernya segala macam kebenaran. Saban hari mereka memproduksi lingkaran Simulakra di layar kaca. Lingkaran berdiameter tiada terhingga, tempat berkelit-kelindannya kebenaran dan dusta, kejujuran dan kemunafikan, ketercemaran dan keterkenalan, yang tiada bakal pernah bisa dipilah, apalagi dijernihkan. Inilah moralitas yang barangkali dapat dikiaskan dengan tabiat ikan lele; keruh dahulu, baru bisa makan.       
Bila di masa lalu, hakikat politik adalah ikhtiar memperjuangkan gagasan demi maslahat bersama, di masa kini politik adalah arena balapan mengendarai kerumunan manusia. Siapa yang handal menunggangi kerumunan, dialah yang bakal keluar sebagai pemenang. Lalu di mana demos (rakyat) yang dalam filsafat politik klasik diagung-agungkan sebagai pelaku utama dari lembaga kuasa (kratos)? Demos yang dalam pengandaian filsuf Plato sebagai subyek politik berakal-budi, atau yang dalam teori politik mutakhir disebut pemilih rasional. Tak ada rasionalitas dalam lingkaran politik simulakra itu, bahkan dalam massa partai politik sekalipun. Dalam kerumunan, yang tampak hanya lalu-lalang tubuh, bukan lalu-lintas pikiran.
      Membayangkan demos sebagai rakyat yang berakal-budi, dalam demokrasi transaksional tentu sebuah kemustahilan. Orang lebih gandrung bertanya berapa banyak modal yang telah terkuras guna meraih sebuah kursi di parlemen, ketimbang berapa banyak pikiran yang dikerahkan guna merengkuh dukungan. Itu berarti akal-budi sudah mati. Gagasan hanya omong kosong. Demos tak lebih dari angan-angan kaum pemikir masa silam. Dengan begitu, lembaga kuasa (kratos) yang ternobatkan jauh pula dari basis akal-budi. Ia juga menjelma kerumunan yang rapuh. Tanpa fondasi ideologi, visi, apalagi political will guna memenuhi harapan banyak orang. Distribusi kekuasaan tak lebih dari bagi-bagi kue kemenangan dengan pihak-pihak yang tercatat sebagai penanam jasa politik, tanpa pertimbangan kepatutan dan kepantasan, apalagi kompetensi. 
            Kerumunan yang kini sedang bimbang, jengkel dan kecewa bukanlah persoalan besar bagi kaum penguasa. Dia hanya perlu dijinakkan dengan sebuah perkakas bernama keramahan (hospitality). Bagi-bagikan saja Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, bila perlu sebarkan pula Kartu Anti Miskin. Bila ada bencana, kunjungi dan rangkul mereka, beri bantuan sekadarnya, dan tunjukkan raut muka sedih di hadapan mereka. Bila Anda seorang Walikota, urus saja taman, lapangkan ruang terbuka hijau, jaga kebersihannya, rawat baik-baik. Itu juga keramahan yang paling mudah guna menjinakkan kerumunan. Intinya, pengabdian Anda upayakan selalu tampak di permukaan, senantiasa kasat mata, dan sering-seringlah mengabadikannya dalam gambar. Anda tidak perlu merancang sistem pelayanan publik, sistem keuangan terpadu semacam e-budgeting, dan sistem distribusi barang, sebab itu adalah barang yang tak tampak, dan sukar diabadikan dalam gambar. Kerumunan massa bakal menganggapnya tidak ada. Visi pembangunan jangka panjang, reformasi birokrasi yang sudah karatan dan bobrok, etos pelayanan publik yang profesional, inovasi guna merangsang pertumbuhan ekonomi, transparansi anggaran, bukanlah pilihan yang rasional.
            Tabiat politik kerumunan sama dan sebangun dengan moralitas kehidupan komunal kita. Keramahan (hospitality) berada di atas integritas, dedikasi, kejujuran, tanggung jawab dan political will. Murid yang baik adalah murid yang ramah dan patuh pada guru, bukan patuh pada buku. Padahal dalam kepatuhan itu, ada kepandiran yang diam-diam disembunyikan, ada itikad buruk yang dibungkus rapi. Ada hipokrasi dalam keramahan. Bila ada murid brilian, tapi gemar menyangkal kata guru, itu nakal dan tak santun. Bagi orangtua murid, guru yang baik adalah guru yang ramah. Meski dalam keramahan itu ada sandiwara yang terus dimainkan, ada basa-basi yang membosankan, ada hipokrasi terselubung. Keluarga yang baik adalah keluarga yang ramah pada sesama, yang banyak berderma, membantu kaum yang susah. Tampak gemilang di permukaan, tapi membusuk di kedalaman. Kesalehan tegak menjulang tinggi, tapi kejernihan hati tertinggal di kopiah haji. Ideologi keramahan sedang berada di menara tinggi, sementara akal-budi dan kejujuran tertinggal di kaos kaki.
Inilah yang terus berlangsung dalam politik kerumunan. Satu orang waras dari komplotan orang gila, akan membuat si waras terkutuk sebagai “yang gila,” kerumunan orang gila akan beroleh predikat “yang waras”. Itu pula hukum yang berlaku bagi satu orang cerdik dalam komplotan orang pandir. Sepanjang subyek-subyek politik masih terkepung dalam kerumunan yang tak ternamai, realitas keseharian kita akan terus jungkir-balik, dan hakikat politik tak akan kembali menjadi pertarungan memperjuangkan gagasan dan pikiran. Lakon-lakon dalam teater politik akan semakin dikuasai oleh kaum saudagar, yang berkelimpahan modal guna mengendarai kerumunan. Keramahan akan terus menjadi perkakas. Hipokrasi menjadi sarana. Kejujuran dan akal-budi dimusuhi. Kepandiran senantiasa dirayakan…

@damhurimuhammad

     

No comments:

Post a Comment