15 Agustus 2016. Berselang
dua hari sebelum hingar-bingar karnaval ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-71, seorang
menteri secara terhormat, diberhentikan Presiden dari jabatannya. Pencopotan
itu terselenggara lantaran status kewarganegaraan asing yang melekat pada
menteri bersangkutan. Bila dihitung dari waktu pelantikan hingga waktu
pemberhentian, maka umur jabatan menteri muda itu tiada lebih dari 20 hari. Kelak, sejarah
akan mencatat masa jabatan menteri paling pendek, yang tentu akan disertai dengan catatan
kaki perihal seleksi anggota kabinet paling ceroboh yang pernah ada di republik
tercinta ini.
Perihal begitu gampangnya orang mengganti sidik-jari
keindonesiaan, atau sedemikian mengentalnya mentalitas inferior “menjadi-indonesia”
hingga semakin banyaklah orang yang memasang niat untuk mencampakkan baju
keindonesiaan dengan rupa-rupa dalih dan alasan, lamat-lamat saya teringat kolom
lawas yang pernah saya tulis beberapa tahun lalu, tentang upaya gigih seorang
putra tulen Indonesia yang terbuang bertahun-tahun di negeri orang, guna
mendapatkan kembali pengakuan negara bagi status kewarganegaraannya.
Saya sebut saja namanya Sobron Aidit (1934-2007).
Sejak 1964,
Sobron bekerja sebagai pengajar Sastra dan Bahasa Indonesia di Institut Bahasa
Asing Beijing, di samping berkhidmat sebagai wartawan di Peking Review. Tak berselang lama sejak ia berdomisili di Beijing,
tersiar kabar tentang tewasnya Bang Amat─begitu Sobron memanggil kakaknya, DN.
Aidit─setelah dibunuh tentara di Boyolali, Jawa Tengah. Karena sedang
berada di Beijing, Sobron dan keluarga, serta ratusan orang Indonesia lainnya,
selamat dari penumpasan rejim Orba. Mereka terpaksa bermukim di Tiongkok sambil
terus berharap bisa pulang ke tanah air suatu saat kelak. Namun, harapan itu tak
pernah kesampaian, pemerintahan Orde Baru terus-menerus memupuk dendam-kusumat
pada kaum kiri. Akhirnya, Sobron Aidit menggelandang di negeri orang. Delapan belas tahun di Tiongkok (sekarang RRC), dua
puluh satu tahun di Paris, Prancis.
Pada 1982, Sobron
bersama Umar
Said, JJ.Kusni, Ibbaruri (putri D.N Aidit) dan kawan-kawan sesama eksil lainnya
mendirikan sebuah restoran Indonesia di Rue de Vaugirard, jantung kota Paris. Apa
yang sebenarnya hendak dicari Sobron? Selain untuk bertahan hidup, restoran itu
menjadi saksi bahwa kaum eksil tak sungguh-sungguh merasa terasing dari tanah
air mereka, Indonesia. Di restoran itu mereka sajikan aneka
masakan khas Indonesia, mulai dari Nasi Rawon, Gudeg Jogja, hingga Rendang
Padang, seolah-olah mereka tak sedang berada di negeri orang. Banyak aral melintang yang menghadang Sobron
selepas mendirikan restoran itu. KBRI Prancis bahkan mengeluarkan maklumat
larangan berkunjung ke restoran milik orang-orang kiri itu, meski tak banyak yang
mematuhinya. ”Masa’ makan di restoran saja dilarang?” begitu tanya Sobron dalam buku Melawan dengan Restoran (2007) yang ia tulis bersama Budi
Kurniawan.
Pertentangan ideologis masa lalu telah membuat hidup Sobron Aidit selalu berada
di bawah tekanan dan ancaman, bahkan dalam urusan restoran yang tujuannya hanya
untuk menyediakan lapangan kerja bagi kaum eksil pun dihubungkaitkan dengan
perkara ideologi. Tapi, begitulah Sobron. Bila memang lewat restoran itu ia
berpeluang melawan, tiada bakal ia sia-siakan peluang itu. Sobron akan terus
melawan, meski hanya lewat restoran. Nasib dan peruntungan kaum eksil yang
terkatung-katung selama berbilang tahun di negeri orang harus diperjuangkan. Lewat
menu makanan, Sobron mengibarkan semangat keindonesiaan di restoran yang kelak
menjadi tempat berkumpul mengasyikkan bagi para pejabat tanah air saat
melancong ke Paris. Tak kurang-kurang, mantan presiden, Gus Dur berkali-kali singgah di sana.
Meski jauh, tapi hampir setiap hari tulisan-tulisan Sobron (puisi, cerpen,
kolom, esai, catatan-catatan perjalanan) dapat dijumpai di berbagai mailing-list. Ia berdiskusi, berpolemik,
bahkan tak jarang berdebat sengit dengan kawan-kawan penulis muda tanah air.
Sobron seorang maniak-diskusi, meski usianya sudah renta. Ia tak pernah abai
pada kritik dan tanggapan kawan-kawan sesama anggota mailing list terhadap tulisan-tulisannya. Selalu dibalas, dan
balasan itu jauh lebih panjang dari
esainya yang sedang jadi pusat perhatian. Dalam sehari, tak kurang dari tiga
sampai empat tulisan ia kirimkan ke sejumlah mailing list. Rata-rata panjang tulisan itu lebih dari delapan
halaman dengan format 1,5 spasi. Sebuah gambaran tentang energi kreatif yang tiada pernah sumbing meski usianya waktu itu sudah
berkepala tujuh. Dapat dibayangkan betapa sabar dan
tekunnya ia duduk berlama-lama di depan komputer. Beberapa hari sebelum Sobron
Aidit meninggal dunia pada 10 Februari 2007 lalu, seperti diceritakan salah
seorang anaknya, beliau terpeleset dan jatuh di sebuah stasiun bawah tanah di
Paris saat mencari layanan internet. Lagi-lagi
untuk urusan berkomunikasi dengan kawan-kawan muda di dunia maya, di Indonesia.
Sobron sepertinya “tidak di sana,” sebab ia sungguh “dekat di sini,” di
negerinya sendiri, di Indonesia yang selalu disinggahinya, meski hanya lewat dunia maya.
Hingga ajal datang
menjemputnya, Sobron memang masih tercatat sebagai pemegang paspor Prancis,
tapi Indonesia adalah tanah air ingatan yang tak akan pernah kerontang di
sekujur tarikh hidupnya. Inilah barangkali bedanya Sobron dengan anak-anak muda yang belakangan tak segan-segan membuang baju kebangsaan mereka demi macam-macam pencapaian
individual yang tak perlu saya uraikan di sini. Ada yang habis-habisan
berikhtiar untuk mendapatkan kembali napas keindonesiaan yang menguap dari tubuhnya. Tapi, ada pula yang begitu
jumawa menjadi malin kundang, lalu menutup semua pintu ingatan bagi rahim
bernama Indonesia, yang melahirkannya. Dirgahayu bangsaku. Panjang umur juga hendaknya bangsa yang
tak henti-henti dikhianati oleh anak-anak kandungnya sendiri...
@damhurimuhammad
No comments:
Post a Comment