Sunday, August 14, 2016

Asap Rokok Mantan Ustadz






 
Di sebuah group chat  WA (WhatsApp), saya pernah terlibat dalam polemik ringan perihal rokok, tepatnya keputusan hukum Islam terhadap perbuatan merokok. Saya katakan polemik, atau sebut saja “debat,” karena umat dalam grup itu sudah pasti terbelah dua. Satu kelompok terdiri dari ustadz-ustadz muda--baik ustadz sungguhan dengan latar belakang kesantrian yang tak diragukan maupun ustadz baru (yang sebelumnya tak punya basis pendidikan Islam memadai, tapi   memaklumatkan diri sebagai ustadz dengan rupa-rupa properti yang melekat di tubuhnya)--secara tegas menyatakan perbuatan merokok adalah haram. Satu kelompok lagi saya namai saja kaum “ahli hisap” alias perokok berat, dan saya termasuk di dalamnya.
  Mengingat saya diklaim sebagai “mantan ustadz,” seorang pendukung “ahli hisap” menyelusupkan pesan melalui jaringan pribadi (Japri). “Kami tidak punya pengetahuan fiqh, kau kami daulat sebagai juru bicara. Kami akan mendukung setiap dalilmu,” demikian kira-kira bunyi permintaan rahasianya. Tapi, sebelum terlalu jauh pada perdebatan tentang  hukum merokok, mungkin ada baiknya terlebih dahulu saya jelaskan duduk perkara istilah “mantan ustadz.” Karir saya sebagai ustadz berawal sejak saya duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP), dan berlanjut hingga Madrasah Aliyah (setingkat SMA), hingga saya menjadi mahasiswa di Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Selain berlatar belakang “sekolah agama”--demikian ayah-ibu saya menyebutnya--almarhum kakek saya mengelola sebuah pesantren tradisional. Sejak masa kanak-kanak saya menyaksikan para santri belajar dengan media kitab kuning atau yang lazim dikenal dengan kitab gundul (buku teks berbahasa arab tanpa harakat) di rumah, dan kakek sebagai guru utamanya. Lama-lama saya menjadi familiar dengan nahwu, syaraf, fiqh, ushul-fiqh, ‘ulumul hadist, hingga ‘ulumul qur’an.
  Itulah yang kemudian menjadi bekal saya saat meniti karir sejak dari julukan mubaligh cilik, hingga mubaligh muda, sebelum saya benar-benar pensiun dari dunia dakwah mimbar. Saya tidak ingin berpanjang-panjang dalam menjelaskan tentang karir yang patah di tengah jalan ini. Yang pasti, gini-gini sekularnya saya saat ini, saya pernah meraih tropi lomba mubaligh cilik tingkat kabupaten, berkali-kali didaulat menjadi khatib di masjid-masjid yang mubaligh senior pun tidak semuanya dapat tampil di sana. Adapun yang paling moncer adalah, salah satu jamaah perempuan yang setiap kali mendengar saya memberi kuliah subuh menangis tersedu-sedu, dengan cara yang sangat meyakinkan berkeputusan memilih saya sebagai menantunya.
        Baiklah, kita kembali pada perdebatan tentang hukum perbuatan merokok. Pertanyaan pembuka saya selepas penegasan bahwa merokok itu haram adalah, cobalah tunjukkan satu dalil saja dari semua sumber hukum Islam yang Saudara ketahui, dan dalil itu dapat memastikan keharaman perbuatan merokok. “Mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya,” demikian salah satu respon yang mengemuka. “Para perokok sebaiknya jangan berkilah, merokok tidak baik bagi kesehatan, jauhi saja, berhenti saja, jangan banyak alasan Bro,” begitu selanjutnya. Kalau dalil itu saya paham. Sebagai perokok berat, saya paham betapa merokok memang merusak tubuh saya, dan bila saya melakukannya secara serampangan mungkin bisa berakibat pada orang-orang di sekitar saya.
       “Baiklah. Sekarang apakah Saudara dapat menjelaskan sebuah mekanisme atau katakanlah metode istimbat hukum yang berakhir dengan keputusan bahwa perbuatan merokok adalah haram?” itu pertanyaan saya selanjutnya.
      “Sudahlah, Bro. Mustahil kaum perokok mempercayai ketetapan hukum yang bertentangan dengan perilaku yang mereka gemari,” demikian balas seorang ustadz muda.
       “Sekarang begini saja. Apakah dalam teks Quran, Hadist, ada kata larangan untuk perbuatan merokok yang memungkinkan kita menggunakan kaidah usl-fiqh; al-Ashlu fi an-Nahyi lil Haram (asal dari larangan adalah haram)? Atau bila tidak ditemukan dalam kedua sumber utama tersebut, apakah  ada hasil  ijtima’ ulama yang mengharamkan merokok? Atau barangkali ada qiyas, istihsan, masalil-mursalah, sadd adz-dzara’i,  dan urf--sumber-sumber hukum Islam alternatif--yang dapat memastikan haramnya perbuatan merokok?”  saya lanjut bertanya.
         Sejenak hening. Saya pun diam, sambil mengingat-ingat perilaku saya saat merokok. Saya termasuk perokok yang santun dan tahu diri.  Tak pernah merokok di ruang  sempit, apalagi  di dekat anak-anak. Tidak pernah protes bila di bandara atau area publik lainnya tak tersedia smooking room--meski di mana-mana saya gampang menemukan papan larangan merokok, seolah-olah para perokok adalah begundal keparat yang perlu dibasmi dari permukaan bumi. Bahkan di hadapan orang yang antirokok sekalipun, saya sedapat-dapatnya tidak memperlihatkan tanda-tanda saya kecanduan rokok. Ringkasnya, saya lebih banyak merokok dalam kesendirian, yang dengan begitu, Insya Allah, celaka dan kerusakan itu, akan saya tanggung sendiri, tanpa melibatkan orang lain.
          Setahu saya,  perbuatan tidak baik tidak serta merta dapat terhukum haram. Merokok misalnya, disuruh tidak, dilarang juga tidak. Akal-sehat tak mungkin menyangkal bahwa nikotin berbahaya bagi kesehatan, tapi menegaskan keharaman perbuatan merokok tak segampang membalik telapak tangan. Bila kurang yakin, tengoklah sejarah ijma’ ulama, berbulan-bulan bahkan bertahun mereka melakukan kajian, sebelum membulatkan sebuah keputusan hukum perihal suatu perbuatan yang larangan tegasnya tak ditemukan dalam teks-teks utama sumber hukum Islam.
           Tapi, barangkali inilah kurun ketika Tuhan mempertontonkan sebuah fase di mana banyak orang kembali mengalami pubertas beragama. Level mengaji masih alif-ba-ta, tapi sudah petantang-petenteng menyesatkan orang lain, memberi wejangan bahwa itu sesat, itu terlarang, itu haram. Terlalu banyak dalil moral, tapi lupa memberdayakan akal. Melimpah ayat-ayat, tapi kemarau akal-sehat. Surplus ustadz, tapi defisit ulama hebat…

@damhurimuhammad


 

No comments:

Post a Comment