Di sebuah group chat WA (WhatsApp),
saya pernah terlibat dalam polemik ringan perihal rokok, tepatnya keputusan
hukum Islam terhadap perbuatan merokok. Saya katakan polemik, atau sebut saja
“debat,” karena umat dalam grup itu sudah pasti terbelah dua. Satu kelompok
terdiri dari ustadz-ustadz muda--baik ustadz sungguhan dengan latar belakang kesantrian yang
tak diragukan maupun ustadz baru (yang sebelumnya tak punya basis pendidikan
Islam memadai, tapi memaklumatkan diri sebagai ustadz dengan rupa-rupa
properti yang melekat di tubuhnya)--secara tegas menyatakan perbuatan merokok adalah haram. Satu
kelompok lagi saya namai saja kaum “ahli hisap” alias perokok berat, dan saya
termasuk di dalamnya.
Mengingat saya
diklaim sebagai “mantan ustadz,” seorang pendukung “ahli hisap” menyelusupkan
pesan melalui jaringan pribadi (Japri). “Kami tidak punya pengetahuan fiqh, kau kami daulat sebagai juru
bicara. Kami akan mendukung setiap dalilmu,” demikian kira-kira bunyi
permintaan rahasianya. Tapi, sebelum terlalu jauh pada perdebatan tentang hukum merokok, mungkin ada baiknya terlebih
dahulu saya jelaskan duduk perkara istilah “mantan ustadz.” Karir saya sebagai
ustadz berawal sejak saya duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP),
dan berlanjut hingga Madrasah Aliyah (setingkat SMA), hingga saya menjadi
mahasiswa di Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Selain berlatar belakang
“sekolah agama”--demikian
ayah-ibu saya menyebutnya--almarhum
kakek saya mengelola sebuah pesantren tradisional. Sejak masa kanak-kanak saya
menyaksikan para santri belajar dengan media kitab kuning atau yang lazim
dikenal dengan kitab gundul (buku teks berbahasa arab tanpa harakat) di
rumah, dan kakek sebagai guru utamanya. Lama-lama saya menjadi familiar dengan nahwu, syaraf, fiqh, ushul-fiqh, ‘ulumul
hadist, hingga ‘ulumul qur’an.
Itulah yang
kemudian menjadi bekal saya saat meniti karir sejak dari julukan mubaligh
cilik, hingga mubaligh muda, sebelum saya benar-benar pensiun dari dunia dakwah
mimbar. Saya tidak ingin berpanjang-panjang dalam menjelaskan tentang karir yang patah di tengah jalan
ini. Yang pasti, gini-gini sekularnya
saya saat ini, saya pernah meraih tropi lomba mubaligh cilik tingkat kabupaten,
berkali-kali didaulat menjadi khatib di masjid-masjid yang mubaligh senior pun
tidak semuanya dapat tampil di sana. Adapun yang paling moncer adalah, salah
satu jamaah perempuan yang setiap kali mendengar saya memberi kuliah subuh
menangis tersedu-sedu, dengan cara yang sangat meyakinkan berkeputusan memilih
saya sebagai menantunya.
Baiklah,
kita kembali pada perdebatan tentang hukum perbuatan merokok. Pertanyaan
pembuka saya selepas penegasan bahwa merokok itu haram adalah, cobalah tunjukkan satu dalil saja dari semua
sumber hukum Islam yang Saudara ketahui, dan dalil itu dapat memastikan keharaman
perbuatan merokok. “Mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya,” demikian
salah satu respon yang mengemuka. “Para perokok sebaiknya jangan berkilah, merokok tidak baik bagi kesehatan, jauhi saja, berhenti saja, jangan banyak alasan
Bro,” begitu selanjutnya. Kalau dalil itu saya paham. Sebagai perokok berat,
saya paham betapa merokok memang merusak tubuh saya, dan bila saya melakukannya
secara serampangan mungkin bisa berakibat pada orang-orang di sekitar saya.
“Baiklah.
Sekarang apakah Saudara dapat menjelaskan sebuah mekanisme atau katakanlah
metode istimbat hukum yang berakhir
dengan keputusan bahwa perbuatan merokok adalah haram?” itu pertanyaan saya
selanjutnya.
“Sudahlah,
Bro. Mustahil kaum perokok mempercayai ketetapan hukum yang bertentangan dengan
perilaku yang mereka gemari,” demikian balas seorang ustadz muda.
“Sekarang
begini saja. Apakah dalam teks Quran, Hadist, ada kata larangan untuk perbuatan
merokok yang memungkinkan kita menggunakan kaidah usl-fiqh; al-Ashlu fi an-Nahyi lil Haram
(asal dari larangan adalah haram)?
Atau bila tidak ditemukan dalam kedua sumber utama tersebut, apakah
ada hasil ijtima’ ulama yang
mengharamkan merokok? Atau barangkali ada qiyas,
istihsan, masalil-mursalah, sadd adz-dzara’i, dan urf--sumber-sumber
hukum Islam alternatif--yang dapat
memastikan haramnya perbuatan merokok?” saya
lanjut bertanya.
Sejenak
hening. Saya pun diam, sambil mengingat-ingat perilaku saya saat merokok. Saya
termasuk perokok yang santun dan tahu diri. Tak
pernah merokok di ruang sempit,
apalagi di dekat anak-anak. Tidak pernah
protes bila di bandara atau area publik lainnya tak tersedia smooking room--meski di mana-mana saya gampang menemukan
papan larangan merokok, seolah-olah para perokok adalah begundal keparat yang
perlu dibasmi dari permukaan bumi. Bahkan di hadapan orang yang antirokok sekalipun,
saya sedapat-dapatnya tidak memperlihatkan tanda-tanda saya kecanduan rokok. Ringkasnya,
saya lebih banyak merokok dalam kesendirian, yang dengan begitu, Insya Allah,
celaka dan kerusakan itu, akan saya tanggung sendiri, tanpa melibatkan orang
lain.
Setahu
saya, perbuatan tidak baik tidak serta
merta dapat terhukum haram. Merokok misalnya, disuruh tidak, dilarang juga
tidak. Akal-sehat tak mungkin menyangkal bahwa nikotin berbahaya bagi
kesehatan, tapi menegaskan keharaman perbuatan merokok tak segampang membalik
telapak tangan. Bila kurang yakin, tengoklah sejarah ijma’ ulama,
berbulan-bulan bahkan bertahun mereka melakukan kajian, sebelum membulatkan
sebuah keputusan hukum perihal suatu perbuatan yang larangan tegasnya tak
ditemukan dalam teks-teks utama sumber hukum Islam.
Tapi,
barangkali inilah kurun ketika Tuhan mempertontonkan sebuah fase di mana banyak orang kembali mengalami pubertas beragama. Level mengaji masih alif-ba-ta, tapi sudah
petantang-petenteng menyesatkan orang lain, memberi wejangan bahwa itu sesat, itu terlarang, itu haram.
Terlalu banyak dalil moral, tapi lupa memberdayakan akal. Melimpah ayat-ayat,
tapi kemarau akal-sehat. Surplus ustadz, tapi defisit ulama hebat…
@damhurimuhammad
No comments:
Post a Comment