Atas berbagai persoalan serius di dunia
nyata hari-hari ini, dunia maya (khususnya media sosial semacam facebook, twitter, instagram, dan
lain-lain) ditunjuk atau saya sebut saja “dikambing-hitamkan” sebagai biang
penyebabnya. Disebut-sebut pemerintah akan melakukan kajian mendalam tentang akibat-akibat
massifnya. Tapi, sepanjang negara masih melihat dunia digital dengan perkakas
analog dan cara berpikir manual, lalu menghadang “keliaran yang terus
bergentayangan itu” dengan undang-undang, kerumunan di jagad maya dengan
rupa-rupa soal yang mereka perbincangkan, rasanya tak akan dapat dibendung. Di
medsos, hal-ihwal semacam aktivitas berbelanja celana dalam di sebuah mall
kemarin petang, suami yang tiba-tiba hilang gairah di kamar tidur, atau
pertengkaran kecil dengan tetangga lantaran kucing piaraannya menerobos masuk
dapur misalnya, dengan gampang menjadi perguncingan orang ramai, menjadi
konsumsi publik. Yang pribadi menjadi santapan banyak orang, sementara urusan
publik menjadi sekadar urusan seorang. Barangkali di sanalah pangkal-soalnya
bermula. Puji dan maki, ikhlas dan dengki, rendah hati dan tempramental, sabar
dan amuk, terus saja berputar mengitari lingkaran setan yang tiada habisnya.
Bertengkar, damai, bertengkar lagi, begitu seterusnya. Bersetuju, menyangkal,
bersetuju kembali. Memfitnah, insyaf, minta maaf, memfitnah kembali. Begitu
seterusnya. Maka, bila negara benar-benar ingin melakukan intervensi, masuklah
dan hadirlah di dalam dunia digital itu sendiri. Bangun infrastruktur digital di
mana negara berdaulat di sana. Jago-jago IT, tak kurang-kurang, bahkan
melimpah-ruah di republik ini. Mereka siap bekerja untuk itu, Dengan begitu,
pengawasan, aturan, sanksi, bahkan pengadilan, digelar secara digital. Bila ada
yang melanggar, katakanlah ada yang mengumbar ujaran kebencian, atau menulis
pernyataan yang berbau adu-domba, secara otomatis sistem akan menghapusnya,
menjatuhkan sanksi digital dengan mengunci akun misalnya. ITE, regulasi tentang
Ujaran Kebencian, ancaman blokir situs, dan semacamnya, bagi saya, tak lebih dari perkakas undang-undang manual
yang hendak menyelesaikan persoalan di dunia nyata, padahal sumbernya berasal
dari alam digital. Alam gaib tak akan
pernah bisa sama dan sebangun dengan alam kasat-mata. Alam digital tak akan
bisa digenggam, apalagi dikuasai, oleh cara berpikir analog dan maha-manual…
@damhurimuhammad
No comments:
Post a Comment