Thursday, August 11, 2016

Satu Wajah, Seribu Muka








Pengalaman paling mula saya dengan dunia fotografi adalah pengalaman menghadapi ketakutan. Masa itu, berdiri beberapa depa di depan mulut lensa, rasanya bagai pasrah menyambut tembakan mematikan dari senapan seorang algojo bertampang sangar, meski fotografernya adalah paman saya sendiri. Saya benar-benar terancam setiap kali harus berhadapan dengan kamera. Muka saya serasa akan dikuliti, telinga saya serasa akan digunting, dada saya serasa akan ditikam. Oleh karena itu, jangankan di dunia citraan, di dunia nyata pun saya amat takut menampakkan diri, saya mengurangi risiko tampak muka bagi banyak orang. Pokoknya, saya gemar meniadakan tubuh saya dari siapa pun. Barangkali itu pula sebabnya, tatkala saya tidak bisa menghindar dari keharusan berpose di depan kamera, misalnya keharusan membuat pas foto  untuk ijazah SD, atau kemestian berpose guna mengabadikan kebersamaan menjelang perpisahan dengan teman-teman sekolah,  hasilnya sudah bisa ditebak; senyum terpaksa, tatapan basa-basi, dan aura gamang yang bagaimanapun juga,  tak bisa saya dustakan. 

Tapi, puluhan tahun kemudian, ketika dunia internet telah merajalela, dan media sosial telah menjadi arena yang tak mungkin dijauhi, rasa takut saya pada kamera lenyap seketika. Saya begitu gandrung mencari celah supaya muka saya tampak paripurna dalam sebuah pose. Dan, bila kesempatan itu sulit diperoleh, saya bahkan nekat memotret diri saya sendiri dengan perangkat kamera telpon pintar. Selepas itu, saya sibuk mengutak-atik citra diri saya dalam foto selfi itu dengan macam-macam perangkat lunak yang tersedia. Pendeknya, saya telah terjangkit sindrom narsisme akut. Muka letih, saya garap menjadi seolah-olah tangguh, kekalutan saya ubah menjadi seolah-olah aman-tentram belaka, kepongahan saya upayakan tampak seolah-olah bijak dan rendah hati, derita saya sulap menjadi super-bahagia. Hampir semua citra tentang diri saya, bisa saya rancang sedemikian rupa, padahal itu tak lebih dari kiat-kiat berdusta yang saya pastikan juga digunakan banyak orang di abad ini. Mereka, dan termasuk saya, adalah para pemilik satu wajah, tapi saban waktu wajah itu membelah diri menjadi ratusan, bahkan ribuan muka. dan semua itu bermula dari perkakas bernama; kamera. Era dunia maya telah membuat ketakutan saya pada kamera beralihrupa menjadi semacam ketekunan berdusta, pada siapa saja yang sengaja atau tak, melihat foto-foto saya...

@damhurimuhammad

No comments:

Post a Comment