digunting, dada saya serasa akan ditikam. Oleh karena itu,
jangankan di dunia citraan, di dunia nyata pun saya amat takut menampakkan
diri, saya mengurangi risiko tampak muka bagi banyak orang. Pokoknya, saya gemar
meniadakan tubuh saya dari siapa pun. Barangkali itu pula sebabnya, tatkala
saya tidak bisa menghindar dari keharusan berpose di depan kamera, misalnya keharusan membuat pas foto untuk ijazah SD, atau kemestian berpose guna mengabadikan kebersamaan menjelang perpisahan dengan teman-teman sekolah, hasilnya sudah
bisa ditebak; senyum terpaksa, tatapan basa-basi, dan aura gamang yang bagaimanapun juga, tak bisa
saya dustakan.
Tapi, puluhan tahun kemudian, ketika dunia internet telah
merajalela, dan media sosial telah menjadi arena yang tak mungkin dijauhi, rasa
takut saya pada kamera lenyap seketika. Saya begitu gandrung mencari celah
supaya muka saya tampak paripurna dalam sebuah pose. Dan, bila kesempatan itu sulit
diperoleh, saya bahkan nekat memotret diri saya sendiri dengan perangkat kamera telpon pintar. Selepas itu, saya sibuk mengutak-atik
citra diri saya dalam foto selfi itu dengan macam-macam perangkat lunak yang
tersedia. Pendeknya, saya telah terjangkit sindrom narsisme akut. Muka letih,
saya garap menjadi seolah-olah tangguh, kekalutan saya ubah menjadi seolah-olah
aman-tentram belaka, kepongahan saya upayakan tampak seolah-olah bijak dan rendah hati,
derita saya sulap menjadi super-bahagia. Hampir semua citra tentang diri saya,
bisa saya rancang sedemikian rupa, padahal itu tak lebih dari kiat-kiat
berdusta yang saya pastikan juga digunakan banyak orang di abad ini. Mereka, dan termasuk
saya, adalah para pemilik satu wajah, tapi saban waktu wajah itu membelah diri
menjadi ratusan, bahkan ribuan muka. dan semua itu bermula dari perkakas
bernama; kamera. Era dunia maya telah membuat ketakutan saya pada kamera beralihrupa menjadi semacam ketekunan berdusta, pada siapa saja yang sengaja atau tak, melihat foto-foto saya...
@damhurimuhammad
No comments:
Post a Comment