Damhuri
Muhammad
Dalam keriuhan suara dan hiruk-pikuk kemarahan
akibat praktik korupsi yang merajarela di republik ini, saya kerap mengalami
kebimbangan. Mudah menunjuk batang hidung,
atau memaki-maki pelakunya di laman-laman media jejaring sosial, katakanlah
pejabat negara mulai dari level bupati, gubernur, mentri, elit partai, hingga aparat
penegak keadilan. Barangkali karena mereka adalah individu-individu di luar
kehidupan saya. Akan berbeda kenyataannya bila watak korup itu tumbuh dalam
lingkaran keluarga saya. Sebut saja, ayah, ibu, paman, kakak-ipar, atau kerabat-kerabat
dekat lainnya.
Di
lingkungan keluarga, saya sering menegaskan, tak perlu jauh-jauh menyalahkan koruptor
kelas kakap. Tengoklah saudara terdekat; pegawai biasa di sebuah kantor
pemerintah di Jakarta. Hanya kepala sub-bagian (Kasubag), tapi bergonta-ganti
mobil mewah saban tahun. Rumahnya ada di empat penjuru ibukota, hidupnya bergelimang
kemewahan. Punya hotel megah dengan lahan puluhan hektar di kampung halaman. Saya
berupaya menunjukkan bukti-bukti akurat bahwa kekayaan kerabat saya yang
melimpah-ruah itu adalah hasil korupsi. Tapi upaya saya sia-sia. Alih-alih dipercayai, saya malah dicibirkan,
dianggap dengki, dan akhirnya dibujuk untuk tidak banyak bersuara.
Inilah
yang saya maksud dengan kebimbangan. Keluarga, tempat saya dibesarkan dengan segenap
keluhuran budi, membiarkan kerabat yang sudah pasti ikut menghisap uang negara.
Bagaimana saya akan berteriak melawan korupsi? Salah satu malingnya berasal
dari rumah saya, dan keluarga besar saya memaklumi, atau mungkin sudah
memaafkannya?
Aksi diam itu penyebabnya
sederhana; jasa. Ya, koruptor itu sudah banyak berjasa. Membiayai pendidikan
anak-anak dari sanak-keluarga yang melarat, membangun musholla, hingga mengaspal
jalan kampung yang rusak-parah. Sejak itu, saya mempercayai bahwa kemiskinan karib
kerabat saya dan ketidakmujuran nasib orang-orang kampung saya, ternyata telah
memfasilitasi kebejatan bernama; korupsi.
Imbalan, atau
yang lazim disebut “gratifikasi” itu sebenarnya hanya remah-remah atau recehan
bila dibandingkan dengan kejahatan seorang koruptor. Tapi banyak orang begitu
cepat memaafkannya, bahkan mendoakan keselamatannya. Solidaritas dalam sistem
komunal kita gampang melakukan pembelaan, atau melindungi maling, bila perlu.
Bukankah sebuah institusi partai politik lebih kerap mengklaim korupsi di partai
lain ketimbang mengaku bahwa korupsi juga sedang menjangkiti tubuh partainya
sendiri? Semut di seberang lautan tampak begitu gemuk, sementara gajah di pelupuk
mata bagai hendak dilupakan. Maka, benarlah kiranya teori para sosiolog, bahwa
budaya kolektif memberikan prioritas pada kebutuhan dan tujuan kelompok,
mementingkan keharmonisan. Setiap orang berusaha mendukung kebutuhan kelompok,
meski berakibat merugikan dirinya. Riset
terkini tentang korupsi di sejumlah negara, sebagaimana dicatat Sahat K
Panggabean (2012) dari Predicting
Societal Corruption Across Time: values,
wealth, or institutions? (O’Connor S. &
Fischer R, 2011), menyimpulkan bahwa indeks korupsi cenderung lebih
tinggi pada masyarakat yang menganut relasi komunal ketimbang individual.
Kolektivisme mendukung praktik suap karena rendahnya anggapan bahwa ia harus
bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.
Betapapun
tercelanya koruptor, ia akan terselamatkan. Apalagi yang rajin menaburkan budi-baik dan kepedulian
sosial semu. Korupsi memang terus bakal dikutuk, tapi tanpa sungkan kita
senantiasa melakukannya. Seperti kebiasaan membeli rokok yang pada kemasannya
tertera peringatan; merokok dapat
menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan. Sebagaimana
perangai mengencingi papan pengumuman; dilarang
kencing di sini. Terlarang, tapi kita tidak mau berhenti melakukannya, setidaknya
berperan memfasilitasinya. Itu sebabnya korupsi di negeri ini seperti kebiasaan
berkumur-kumur saban pagi. Menyehari, banal, dan massal.
Di level yang
lebih praksis, suatu kali saya diundang sebagai narasumber guna membincang korupsi
dari perspektif kebudayaan. Semua teori telah berhamburan, rupa-rupa dalil
dalam filsafat kebudayaantelah diketengahkan, sekian jurus ampuh membasmi korupsi
saya rekomendasikan. Saya amat antusias menelaah persoalan krusial yang tiada
kunjung terselesaikan itu, hingga mulut saya berbusa-busa. Usai diskusi dan perdebatan
panas, saya mesti mengisi daftar hadir, sebagai syarat administratif laporan
keuangan bagi panitia penyelenggara. Kenapa saya harus menandatangani absensi untuk
tiga hari kehadiran sementara acara sudah tuntas hari ini? Panitia hanya
mengumbar senyum genit. Dari lirikan matanya saya membaca permintaan agar saya maklum.
Lalu tiba giliran menerima honor dan inilah bagian yang menegangkan. Saya
diminta menandatangani kwitansi kosong. Kenapa tidak dituliskan saja nominal
uang yang saya terima di kwitansi itu? Lagi-lagi si petugas genit menatap saya.
Bahasa matanya meminta saya mengikuti permainan ringan itu. Tanda tangan
kwitansi kosong, terima honor, tuntas perkara. Pada hari celaka itu, saya telah
mengkhianati pikiran yang baru saya rumuskan, saya menghina akal-sehat yang saya
gunakan untuk memikirkan cara jitu membasmi korupsi. Alih-alih melawan korupsi, saya malah bersekutu melakukan korupsi. Dalam
peristiwa itu, jarak antara akal-sehat dengan akal-bulus kami ternyata hanya
setipis kulit bawang.
Tapi, lama-lama
saya terbiasa. Saya telah berada dalam lingkaran pemakluman demi pemakluman.
Berteriak mengatakan tidak pada korupsi, tapi pada saat yang sama merelakan
tubuh dan harga diri saya sebagai jembatan menuju korupsi. Kerabat yang dulu saya
tuding koruptor itu pensiun dini sejak warna politik di lingkungan kerjanya berubah.
Ia berganti-kulit menjadi politisi dan pada Pileg 2014 lalu, mendeklarasikan diri sebagai calon
anggota DPR-RI. Menghambur-hamburkan uang demi mendulang suara. Keluarga besar saya
semakin memujanya. Orang-orang kampung saya mendoakan keterpilihannya. Saya
menatap sorot matanya yang terpajang di sepanjang jalan provinsi.
Menimbang-nimbang watak kemaruknya, sambil mengukur kemunafikan saya.
@damhurimuhammad
No comments:
Post a Comment